Senin, 16 November 2015

Prospek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi _Part_2

lanjutan . . .

Prospek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


NILAI ILMU PENGETAHUAN
Seperti nilai air hujan
Abu Musa ra berkata: Bersabda Nabi saw: “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diberikan oleh Allah kepada saya bagaikan hujan yang turun ke tanah, maka sebagian ada tanah yang subur, dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan serta rumput yang banyak sekali. Dan ada pula tanah yang keras menahan air, sehingga berguna untuk minuman dan penyiraman kebun tanaman dan ada beberapa tanah hanya keras kering tidak dapat menahan air dan tidak pula menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Demikianlah contoh orang yang pandai didalam agama Allah dan mempergunakan apa yang diberikan Allah kepadaku lalu mengajar dan perumpamaan orang yang tidak dapat menerima petunjuk Allah yang telah ditugaskan kepadaku.”
(HR. Bukhari-Muslim, dikutip dari Riadhus Sholihin, Jilid II, hlm 315)
Abu Hurairah ra berkata: Saya telah mendengar Rasulullah bersabda: “Jika mati seorang anak Adam maka putuslah amal usahanya kecuali tiga: sedekah yang berjalan terus, ilmu pengetahuan yang berguna, anak sholeh yang mendoakan baginya.”
(HR. Muslim, dikutip dari Riadhus Sholihin, Jilid II, hlm 317)
Ali bin Abi Thalib ra berkata:
Manusia ada 3 macam, seorang alim rabbani, seorang murid yang ingin selamat dan yang selain itu rakyat jelata pengikut tiap suara seruan, condong mengikuti arah angin. Juga ia berkata: Ilmu lebih baik dari harta, ilmu menjaga dirimu, sedangkan kamu menjaga harta dan ilmu bertambah jika disiarkan sedangkan harta berkurang jika dibelanjakan dan ulama itu akan tetap hidup selamanya meskipun jagadnya tidak ada dan ajaran mereka selalu teringat dalam hati.
(dikutip dari Tanbihul Ghofilin, Jilid II, hlm. 656)


Dalil-dalil lain:
Allah sendiri dalam menunjukkan kebesarannya sering mengangkat perbedaan ilmu sebagai pembanding dan pijakan penilaian akan suatu kebesaran. Sebagai contoh, ketika Allah menunjukkan kebesaran dirinya dengan cara menunjukkan kebesaran ilmunya, yang dikatakan tidak akan habis apabila ditulis dengan tinta sebanyak lautan, bahkan bila ditambah sebanyak itu (Surat Al-Kahfi ayat 109). Pada surat Al-Thalaq ayat 12, Allah memberitahukan bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Dan ilmu manusia sangat sedikit (Surat Al-Isra’ ayat 85)

Demikian pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan dan perhatian Allah terhadap ilmu dan orang-orang yang memiliki pengetahuan. Seorang ilmuwan Islam yang bernama Husein Al-Habsyi pernah mengatakan bahwa, hanya ajaran Islamlah yang mewajibkan pengikutnya untuk menuntut ilmu, sedangkan selain Islam sifatnya hanya sekedar menganjurkan saja.

KEHARUSAN UMAT ISLAM UNTUK MENUNTUT ILMU PENGETAHUAN
Banyak sekali hadits yang memerintahkan kepada umat Islam untuk menuntut ilmu, dua diantaranya ialah:
Carilah dunia dengan ilmu dan akhirat dengan ilmu.
(Hadits ini semakna dengan ayat jangan kami berbuat sesuatu yang tidak ada ilmunya dalam 17:36)
Tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai liang lahat.
Jaminan orang-orang yang menuntut ilmu sangat besar sekali, baik didunia maupun diakhirat.



Dalilnya antara lain:
Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang berjalan di suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim, dikutip dari Riadhus Sholihin, Jilid II, hlm. 316)
Anas ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang keluar menuntut ilmu maka ia berjuang fi sabilillah hingga kembali.” (HR. al-Tirmidzi, dikutip dari Riadhus Sholihin, Jilid II, hlm. 317)
Dari uraian diatas semoga dapat memberi kesadaran kepada kita tentang arti dan nilai ilmu pengetahuan, sehingga kita akan menjadi orang-orang yang menghargai dan mencintai ilmu pengetahuan dan sekaligus dapat menjadi suatu motivator, dorongan yang besar bagi kita semua untuk berjihad menuntut ilmu pengetahuan dan bersiap menghadapi segala tantangan dan rintangan yang menghambat jalannya ilmu pengetahuan.

CARA UNTUK MENDAPATKAN ILMU PENGETAHUAN
Cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ada dua macam, yaitu:
Berpikir, dan
Belajar pada ahli ilmu pengetahuan.
Masing-masing cara diuraikan sebagai berikut.

BERPIKIR
Potensi Berpikir untuk Mendapatkan Ilmu Pengetahuan
Berpikir memiliki peranan dan potensi yang besar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, hal ini dapat dilihat pada sejarah penemuan-penemuan ilmu pengetahuan pada masa yang lalu. Hukum gravitasi, hukum kekekalan energi, kecepatan cahaya, hukum mekanisme alam, semua pengetahuan tersebut dapat diketahui dengan kemampuan berpikir.
Karena demikian besarnya peranan penggunaan pemikiran dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, maka Allah sangat menekankan kepada hamba-hamba-Nya untuk berpikir. Berpikir terhadap segala sesuatu, bahkan terhadap al-Qur’an itu sendiri juga masih jelas dipikirkan, dan al-Qur’an sendiri juga menuntut untuk berpikir. Hal ini dapat disaksikan pada firman Allah yang tertulis pada surat An-Nahl ayat 44, yang artinya: Dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab, Dan kami turunkan kepada al-Qur’an. Agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. Dari ayat ini dapat diketahui bahwasanya al-Qur’an itu bukan ilmu pengetahuan yang sudah jadi yang memperinci realitas yang ada, akan tetapi merupakan informasi global yang masih perlu untuk dipikirkan. Apa sesungguhnya yang berada dibalik informasi yang global tersebut? Betapapun kebesaran nilai-nilai kemutlakan yang terdapat di dalam al-Qur’an  namun apabila tidak didukung dengan pemikiran yang benar, pemikiran yang profesional, maka tidak akan dapat melahirkan suatu nilai yang besar, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, secara tidak langsung akan mengotori al-Qur’an. Tidak sedikit firman Allah yang menuntut kepada hamba-hamba-Nya untuk berpikir mengenai kosmologi atau kejadian langit dan bumi (3:190). Berpikir mengenai sejarah umat yang lalu, tentunya berkenaan dengan segala peradaban dan kebudayaannya (12:109). Tentang kejadian manusia (96:2), berpikir tentang jiwa, tentang nikmat Allah (30:50-51), tentang hari esok (59:18).
Disamping Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berpikir, Allah juga melarang hamba-Nya untuk tidak menggunakan nikmat pemikiran, bahkan menempatkan mereka yang tidak berpikir seperti binatang ternak dan kelak akan menjadi penghuni Jahannam (7:179). Dalam surat Yunus ayat 100, Allah mengancam dengan kemurkaan, agar mereka benar-benar memahami kebesaran Allah dengan ilmu pengetahuan (2:164). Sehingga akan menjadi manusia yang takut kepada Allah (35:28) dan mampu untuk memahami kandungan al-Qur’an (3:7). Orang-orang yang seperti ini akan mengeluarkan derajat yang tinggi, baik didunia maupun diakhirat (58:11; 4:162).

HAKIKAT BERPIKIR
Didalam kitab-Nya, Allah sering menasihati orang-orang yang zalim agar mereka:
Berpikir, dan
Menggunakan pemikirannya.
Teguran Allah tersebut sepertinya memberikan kesan bahwa orang-orang yang zalim itu tidak berpikir dan tidak menggunakan pemikirannya. Benarkah mereka tidak berpikir dan tidak menggunakan pemikirannya?
Kalau diperhatikan dengan seksama tentang pemikiran, prinsip-prinsip tingkah laku dan tingkah laku itu sendiri, dapat disimpulkan bahwa semua itu bertitik tolak dari suatu pemikiran atau produk suatu pemikiran. Berpikir dan pemikiran merupakan suatu proses alamiah yang senantiasa ada pada aktivitas manusia. Aqidah atheisme itupun sebenarnya merupakan proses atau produk pemikiran.
Lalu apa yang dimaksud dengan teguran Allah, yang menyatakan bahwa orang-orang kafir itu tidak berpikir dan tidak menggunakan pemikirannya? Apakah Allah keliru menempatkan istilah atau Allah tidak mengetahui hakikat pemikiran?
Maha Suci Allah dari segala sifat kesalahan. Sesungguhnya yang dimaksud oleh Allah itu bukan tidak berpikir atau tidak menggunakan pemikirannya, akan tetapi yang dipersoalkan ialah mereka tidak menggunakan dasar-dasar berpikir secara logis, mereka hanya asal berpikir, mereka mudah menyimpulkan sesuatu tanpa diiringi dengan persyaratan-persyaratan yang alami.
Drs. Poespoprodjo dalam bukunya Logika Scientifika, mengatakan bahwa:
“pikiran manusia diikat oleh hakikat, sifat-sifat dan struktur-struktur tertentu, pikiran manusia tunduk kepada hukum-hukum tertentu. Berpikir bukanlah aktivitas yang bersahaja, berpikir adalah suatu aktivitas yang banyak seluk beluknya, berlibat-libat, mencakup berbagai unsur dan langkah-langkah seperti misalnya aprehensi sederhana atau pembentukan konsep, menyusun keputusan-keputusan, meneliti atau memperhatikan asumsi atau implikasi pemikiran, menanggulangi disonansi kognitif, menyelenggarakan pemikiran, menarik kesimpulan, gerak intelek secara deduktif, induktif dan argumen kumulatif atau secara langsung dan sebagainya. Semuanya itu sangat penting untuk dipahami, supaya dapat diketahui mekanismenya sehingga melahirkan kepekaan, kesadaran mengontrol jalannya suatu pemikiran.
Kelompok fenomenologi eksistensialisme berpendapat, berpikir bukan pemikir punya inisiatif, tetapi adalah membiarkan sesuatu menjadi nampak sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori kita sendiri pada sesuatu tersebut. Kenyataannya pemegang inisiatif bukan kita yang menunjukkan kenyataan, tetapi kenyataan itu sendiri yang menunjukkan dirinya kepada kita. Konsepsi tersebut jelas suatu arah kebalikan dari yang biasa pada bentuk berpikir untuk menguasai seperti berpikir membayangkan, berpikir menghitung, berpikir menjelaskan, yakni bentuk-bentuk berpikir yang khas pada pemikiran ilmiah. Oleh karena itu kelompok pemikiran fenomenologi eksistensialisme juga berpendapat bahwa berpikir tidak terikat oleh pola deduktif-induktif-argumen kumulatif. Berpikir bukan menggambarkan sesuatu didepan mata. Berpikir adalah berpikir, tidak konseptual. Pikiran adalah sesuatu yang menerpa, menjumpai kita manakala ada (yaitu Das Sein yang dibedakan dengan tegas dari Das Sollen). Mengungkapkan diri pada pikiran kita. Fakta bagi mereka bukan sekedar fakta melainkan kisah.
Selanjutnya disadari juga adanya bentuk-bentuk pemikiran tertentu yang terkadang sulit atau agak sulit untuk diketahui identitasnya, misalnya logika dalam membuat syair, dalam bermain catur, bermain bridge, menggubah musik, melawak dan sebagainya. Juga terdapat apa yang disebut eustochia atau semacam intuisi yang cepat dapat menangkap sesuatu berkat latihan. Tetapi menurut pengamatan kami semuanya itu tidak jarang suatu bentuk pemikiran yang memuat cara pemikiran cara deduktif-induktif-argumen-kumulatif. Bentuk pemikiran tersebut sering demikian cepat berlangsung sehingga kita dapat mengalami kesulitan untuk mengenalinya kembali.”

Penjelasan diatas menunjukkan betapa kompleksnya hukum-hukum pemikiran, sehingga untuk sampai kepada kesimpulan yang valid, diperlukan persyaratan-persyaratan yang memadai. Dalam ilmu logika telah diajarkan secara terperinci bagaimana berpikir secara sah/valid, disamping juga diajarkan kesalahan-kesalahan dalam membentuk pemikiran dan menetapkan kesimpulan. Dengan memahami ilmu logika akan banyak membantu kita membentuk pemikiran yang benar. Mengingat demikian pentingnya memahami hukum-hukum pemikiran untuk melihat salah dan benar, serta melihat betapa tajamnya Allah mempersoalkan landasan pemikiran, maka pada Program Pembinaan Satu Semester ini akan diajarkan dasar-dasar berpikir secara logis, sekedar untuk bekal menganalisis pemikiran yang obyektif dan subyektif.

Dasar-dasar Berpikir Logis
Sebelum memahami bagaimana berpikir secara logis, terlebih dahulu memahami proses mekanisme pemikiran. Didalam diri manusia terdiri dari nafs atau aku sebagai peranan aktif dan ruh, alat-alat indrawi dan alat-alat jasmaniah yang bersifat pasif, semua unsur-unsur yang terdapat pada manusia tersebut masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.
Mata untuk melihat, telinga untuk mendengar dan otak untuk meredam dan mememori realitas yang telah ditangkap oleh alat-alat inderawi manusia. Untuk memudahkan pengertian otak dapat menyaksikan fungsi pita rekaman pada tape recorder. Dalam buku yang berjudul Aku di Dunia dan di Akhirat karangan Prof. Dr. Aloei Saboe, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, diberikan penjelasan mengenai otak sebagai berikut:
“Ilmu pengetahuan yang modern, menerangkan bahwa otak itu hanya merupakan alat belaka dan tidak lebih dari itu. Pendapat yang mengatakan bahwa otak itu tempat dari pikiran adalah tidak sama dengan pendapat yang mengatakan bahwa otak itu adalah sumber dari pikiran. Segala sesuatu yang bersangkutan dengan tubuh manusia adalah mempunyai hubungan dengan otaknya, akan tetapi tidak disebabkan oleh otaknya. Sebenarnya aku itulah yang mempergunakan dan memerintah otak, untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya dan kemauannya. Otak sendiri alat perlengkapan badan, tidak dapat berpikir dan mengetahui sesuatu dan tidak pula mempunyai kesanggupan atau daya untuk menciptakan sesuatu yang berupa pikiran atau pengetahuan. Otak dari seekor kera besar atau orang hutan hampir tidak ada bedanya dengan otak manusia, baik bentuk, berat atau besarnya (yang membedakan potensi ini adalah faktor Ruh, IAW).
Tiada seorang ahli pikir atau sarjana ilmu pengetahuan yang puas dengan pendapat bahwa otak bagian alat perlengkapan tubuh, yang berpikir, mengingat dan kemauan. Aku bukanlah otak akan tetapi otak adalah kepunyaan dan alat dari aku dan akulah yang mempergunakan otak, sesuai dengan kehendaknya, aku adalah suatu zat yang tidak dapat dilihat, dan tidak dapat diraba dan tidak dapat dipegang. Aku hanya sekedar badan manusia selama hidupnya didalam dunia ini, pada fase pertama dalam perjalanannya. Aku adalah kekal abadi, hidup dan bertumbuh terus sepanjang masa dan tidak mengenal kematian.
 Menurut ilmu urai, otak manusia terdiri dari tiga bagian yaitu tampuk otak, otak besar atau cerebrum dan otak kecil atau cerebellum. Tampuk otak terletak ditengah-tengah dan mempunyai saluran serta terdiri atas:
Sumsum penyambung atau medulla oblongata.
Otak kemudian, yang terdiri atas perkumpulan serabut-serabut syaraf dan disebut titian verol (pons veroli).
Otak tengah (mesencephalon) yang mempunyai atap yang disebut aquaeductus sylvil.
Otak sisip atau otak antara (diencephalon) dimana terdapat glandula pinealis yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya jiwa manusia.

Berat otak manusia adalah kurang lebih 1500 gram dan tidak mempunyai alat perasa, artinya bila otak dibuka dengan semacam gergaji dan dipotong-potong, maka kita tidak akan merasa sakit. Otak terdiri atas 14 milyar sel, kurang lebih sebanyak bintang-bintang dan planet-planet di cakrawala. Bila dipotong ditengahnya maka kelihatan dua bagian, yaitu bagian luar yang berwarna kelabu dan bagian dalam yang berwarna putih. Menurut ilmu urai, dengan bagian kelabu dari otak ini, kita berpikir, merasa, mencintai, mengagumi dan sebagainya.
Otak besar terdiri atas tiga bagian, bagian dalam, bagian belakang dan bagian sisi. Bagian depan dari otak besar disebut labussfrontalis, mempunyai 100 central atau pusat, diantaranya terletak pusat-pusat dari akal, budi pekerti, kebijaksanaan, akhlak, temperamen, moral, sikap hidup dan sebagainya. Bagian terpenting dari otak adalah bagian luar yang berwarna kelabu, bila bagian itu terserang oleh suatu penyakit tertembus benda-benda tajam, maka timbullah berbagai kelainan pada jiwa manusia, misalnya, kekacauan dalam pikiran, perasaan lebih unggul dari orang lain, kasar dengan kata-kata dan pernyataan, keruntuhan akhlak dan jiwa, lenyapnya daya ingatan, lenyapnya daya pengenal dan akhirnya menjadi gila. Juga kerusakan dari berbagai pusat pada bagian kelabu dari otak misalnya rusaknya pusat atau centrum penglihatan, maka orang tidak dapat melihat sekalipun kedua mata terbuka baik dan utuh. Kita tidak melihat dengan biji mata dengan biji mata, tetapi dengan perantara sel-sel dipusat ingatan. Dengan rusaknya sel-sel dipusat ingatan, kita tidak dapat melihat lagi, sekalipun kita melihat dengan baik. Juga disini terdapat pusat-pusat atau central gerakan, misalnya, gerakan mata, gerakan kepala, menulis, gerakan kaki, gerakan mulut, berbicara, perasaan dingin, dan lain sebagainya. Bagian kelabu dari otak ini sedemikian pentingnya sehingga pentingnya sehingga bila dipotong dari bagian otak ini, sebesar ujung jarum, dilihat dibawah mikroskop penuh dengan titik-titik cahaya yang gemerlapan dan cemerlang (mikro dan makro kosmos).
Sedikit uraian tentang kelenjar nanas (glandula pincalis). Kelenjar ini berbentuk nanas yang dianggap tempat bersemayamnya jiwa manusia. Menurut penyelidikan, fungsi dari kelenjar kelamin ini adalah mengerem atau menghambat perkembangan kelenjar kelamin. Pada umur 10 tahun kelenjar ini menghentikan fungsinya yang mengakibatkan bertumbuh dan berkembangnya kelenjar kelamin dengan mempro-duksi air mani pada kaum pria dan sel telur pada kaum wanita. Bila kelenjar nanas ini sebelumnya mengalami kerusakan, misalnya, menjadi keras sebagai batu karena proses pengapuran (culcanisasi) maka timbullah apa yang disebut anak ajaib yang ditakdirkan untuk meninggal dunia pada umur yang muda sekali. Anak yang demikian ini menunjukkan sifat-sifat kedewasaan pada umur yang muda. Pada umur empat tahun ia menjadi sempurna dewasa dan memperlihatkan sikap hidup serta cara berpikir dari orang dewasa. Ia gemar sekali berfilsafat dan berdiskusi tentang soal-soal kematian.”

Demikian ungkapan mengenai perangkat dan fungsi otak menurut Prof. Dr. Aloei Saboe. Sisi yang paling relevan pada topik diatas yang berkenaan dengan permasalahan kita ialah bahwa otak manusia memiliki fungsi yang besar pada pembentukan pikiran, akan tetapi otak bukan sumber pemikiran, sedangkan pembahasan lainnya hanya sekedar pengetahuan yang berhubungan dengan otak manusia.
Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa fungsi otak untuk meredam dan memori realita-realita disekelilingnya. Realita-realita tersebut terdiri atas tiga hal antara lain :
Alam Natural, yang terdiri dari :
Unsur Dzat
Unsur Bentuk
Unsur Sifat
Unsur Perhubungan Sifat
Unsur-unsur tersebut diatas terdiri dari berbagai ragam.
Alam Matematika
Yang terdiri dari angka dan hitungan-hitungan
Alam Etika
Yang terdiri dari nilai-nilai positif dan nilai-nilai negatif, baik dalam pemikiran, kepribadian dan hukum-hukum sosial.
Realitas yang terdiri dari 3 alam itu satu sama lainnya saling kait-mengkait, isi-mengisi, berjalan dalam keintegrasiannya dan melepaskan diri dari lingkup keintegrasiannya pada kondisi-kondisi dan terkadang menyatu kembali pada lingkup keintegrasian yang lebih luas. Sebelum realitas itu tertangkap oleh otak terlebih dahulu melewati indera-indera pada manusia, dari indera itulah realitas yang ada terekam atau teredam oleh otak manusia. Yang perlu digaris bawahi dalam hal ini relativitas indera-indera pada manusia, oleh karena itu ada kemungkinan bahkan besar sekali, penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh indera-indera manusia terhadap realitas yang mutlak itu melahirkan kesalahan, tidak sesuai dengan realitasnya.
Untuk selanjutnya pengertian yang salah itu tertampung pada otak dan menjadi pengetahuan dari pengamatnya dan pada perkembangan seterusnya dapat menjadi titik tolak pemikiran, penilaian dan perilaku manusia. Apabila pengetahuan tersebut salah dapat dipastikan seluruh produk pemikiran yang keberangkatannya dari pengetahuan yang keliru akan melahirkan kekeliruan juga. Oleh karena itu kita harus memiliki landasan yang profesional dalam melihat suatu realitas. Dengan demikian pengetahuan-pengetahuan yang ada, baik dalam dunia natural ataupun supranatural, akan kecil kemungkinan salahnya dalam mempersepsikan suatu realitas atau pengetahuan.
Tidak sedikit ilmuwan yang memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang dasar-dasar berpikir secara obyektif. Disini akan dipaparkan beberapa diantaranya.

Aristoteles
(dikutip dari Partap Sing Mehra, MA, Pengantar Logika Tradisional, Bandung: Binacipta, 1986).
Aristoteles yang dipandang sebagai Bapak Logika, memberikan tiga buah hukum dalam menetapkan dasar-dasar berpikir secara obyektif, yaitu:
Hukum Identitas,
Hukum Kontradiksi,
Hukum Penyisihan Jalan Tengah, dan Leibnitz, seorang ahli filsafat modern, menambahkan 1 hukum lagi, yakni:
Hukum Cukup Alasan.

Penjelasan
Hukum Identitas ialah suatu benda adalah benda itu sendiri
Secara simbolis dapat dikatakan A adalah A. Hukum ini menyatakan bahwa suatu benda adalah benda itu sendiri, tidak mungkin yang lain. Dan selanjutnya berarti yang sebenarnya dari suatu benda tetap sama selama benda itu dibicarakan atau dipikirkan. Konsep-konsep dan term-term yang dipergunakan didalam suatu pemikiran haruslah tetap sama artinya selama pembicaraan itu berlangsung. Jadi kalau kita mulai dengan gagasan suatu obyek tertentu mempunyai atribut-atribut yang tertentu pula, maka kita tidak boleh melupakan bahwa obyek itu tetap mempunyai atribut-atribut yang telah ditentukan itu dan atribut itu tidak boleh berubah, karena kalau atribut-atribut itu berubah, maka arti konsep berubah pula. Hal ini akan mengakibatkan kekacauan dalam pemikiran itu dan kesimpulan-kesimpulan yang diambil akan menjadi salah.
Hukum Kontradiksi ialah suatu benda tidak dapat merupakan benda itu sendiri dan benda yang lain pada waktu yang sama atau sesuatu tidak dapat positif dan negatif pada waktu yang sama.
Hukum ini dapat dikatakan dengan kalimat lain sesuatu tidak dapat ada dan tidak ada pada waktu yang sama atau kita tidak dapat mengatakan bahwa sesuatu itu ada dan tidak ada pada waktu yang sama, tak mungkin A sama dengan B dan bukan B secara serentak.
Yang dimaksud dengan hukum ini bahwa dua sifat yang berlawanan tidak mungkin ada pada suatu benda pada waktu dan tempat yang sama. Tak dapat kita katakan bahwa meja ini hitam dan tidak hitam, kedua term ini mungkin benar untuk suatu meja. Kalau pernyataan meja ini hitam adalah benar, maka pernyataan ini tak hitam, tidak mungkin benar. Meskipun mungkin meja ini hitam pada suatu saat dan tak hitam pada saat yang lain, tetapi tidak masuk akal bahwa meja ini hitam dan tidak hitam pada saat dan tempat yang sama. Hamilton menyebut hukum ini Hukum Non Kontradiksi, karena tak adanya kontradiksi merupakan syarat bagi pemikiran yang valid.
Hukum Penyisihan Jalan Tengah
Hukum ini dapat dijelaskan sebagai berikut, segala sesuatu haruslah positif atau negatif. A mestilah B atau tidak B. Arti dari hukum ini ialah bahwa dua sifat yang berlawanan tak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, hanya salah satu daripadanya yang dapat dimilikinya. Dengan kata lain dapat pula dikatakan bahwa salah satu dari dua sifat yang berlawanan mestilah benar bagi suatu benda. Jevons mengatakan bahwa nama hukum itu menyatakan bahwa tak ada kemungkinan ketiga atau jalan tengah, jawabannya ya atau tidak. Menurut hukum kontradiksi, dua hal yang kontradiksi tidak mungkin benar keduanya bila terdapat pada suatu benda, satu diantaranya harus salah. Jika kita katakan bahwa meja itu hijau dan tidak hijau kedua pernyataan itu tidak mungkin benar pada satu meja, maka salah satu dari padanya mesti salah.
Menurut hukum penyisihan jalan tengah, dua hal yang kontradiksi pada suatu benda, keduanya tidak mungkin salah, karena itu salah satu darinya mestilah benar. Jadi jika kita gabungkan kedua prinsip ini, maka kebenaran salah satu dari pada dua hal yang berkontradiksi, menunjukkan kesalahan yang lainnya dan kesalahan yang satu menunjukkan kebenaran yang lainnya. Keduanya tidak bisa benar, dan keduanya tidak pula bisa salah. Haruslah diperhatikan benar bahwa kedua hukum ini hanya menunjukkan kontradiksi bukan kontrari.
Term-term yang kontrari tak mungkin sama-sama benar pada saat dan benda yang sama, tapi keduanya dapat salah. Kalau kita rasakan, kertas ini hitam dan kertas ini putih kedua pernyataan ini mungkin salah terhadap kertas ini, karena kertas ini mungkin merah. Tapi jika kita katakan bahwa kertas ini putih dan kertas ini putih, maka pernyataan ini tidak dapat sama-sama salah. Satu diantaranya mestilah benar, dan lainnya mestilah salah.
Hukum Cukup Alasan
Hukum ini merupakan hukum tambahan bagi hukum identitas. Adanya sesuatu itu mestilah mempunyai alasan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu. Jika sesuatu benda jatuh ke tanah, alasannya ialah karena adanya daya tarik bumi sedang benda itu tidak ada yang menahannya.
Hukum ini dikatakan merupakan tambahan bagi hukum identitas, karena secara tak langsung mengatakan bahwa sesuatu benda mestilah tetap tidak berubah, artinya tetap sebagaimana benda itu sendiri. Tetapi jika kebetulan terjadi sesuatu perubahan, maka perubahan ini mestilah ada suatu keadaan yang mendahuluinya yang sanggup menyebabkan perubahan itu. Dengan kata lain, hukum ini menyatakan bahwa di alam ini tak ada yang mungkin terjadi dengan tiba-tiba tanpa alasan yang cukup.
Singkatnya :
Hukum Identitas (A = A)
Hukum Kontradiksi (AB tidak sama dengan A)
Hukum Penyisihan Jalan Tengah (A adalah A atau B)
Hukum Cukup Alasan (terjadinya A ada sebab)

Dr W Poespoprodjo L.Ph.SS
(dikutip dari Dr W Poespoprodjo L.Ph.SS, Logika Ilmu Menalar,Bandung:Rosda Karya, 1984)
Menurut Poespoprodjo dasar pemikiran obyektif mempunyai 3 syarat, yaitu:
Pemikiran harus berpangkal dari kenyataan atau titik pangkalnya yang harus benar.
Suatu pemikiran yang meskipun jalan pemikirannya logis, tidak berpangkal dari kenyataan atau dari dalil yang benar, tentu tidak akan menghasilkan kesimpulan yang benar (apalagi kesimpulan yang pasti!). Misalnya dalam contoh pohon-pohon diatas, kalau terjadi tanah longsor, maka memang bisa benar-benar bahwa pohon-pohon tumbang, akibat tanah longsor. Ini hubungan yang logis. Tetapi, kalau dalam kenyataan tidak terjadi tanah longsor, tumbangnya pohon-pohon jelas tidak disebabkan tanah longsor. Meskipun hubungan itu masuk diakal atau jalan pikiran sudah logis, kesimpulan tidak benar, karena titik pangkalnya tidak benar.
Kalau titik pangkal suatu pemikiran tidak pasti, maka kesimpulan yang ditarik dari padanya juga tidak akan pasti, bahkan mungkin salah. Misalnya kalau tidak pasti apakah ditempat itu dibuat jalan, juga tak dapat dipastikan apakah pohon-pohon tumbang karena ditebang untuk pembuatan jalan. Dan kalau tak bernapas lagi belum tentu cukup alasan untuk dikatakan sudah mati, maka kesimpulan dia = mati juga tidak pasti.
Alasan-alasan yang diajukan harus tepat dan kuat.
Kerap kali terjadi orang mengajukan pernyataan atau pendapat, tapi yang sama sekali tidak dibuktikan atau didukung dengan alasan-alasan. Sering juga orang merasa sudah pasti dan yakin dalam menarik kesimpulan, padahal sebenarnya tidak cukup alasan, atau alasan yang dikemukakan itu tidak kena, tidak kuat, tidak membuktikan apa-apa.
Ada hal-hal yang dapat dibuktikan hanya dengan menunjukkan pada fakta atau kenyataan (meskipun untuk itu diperlukan penelitian yang seksama). Tetapi banyak hal hanya dapat dibuktikan dengan suatu pemikiran, yang merupakan suatu rangkaian langkah-langkah, disusun secara logis menjadi suatu jalan pikiran, anggapan yang secara diam-diam dimasukkan. Untuk menganalisis jalan pikiran seperti itu, langkah-langkah dan alasan-alasan perlu dieksplisitkan dulu.
Jalan pikiran harus logis atau lurus (sah)
Jika titik pangkal memang benar dan tepat, tapi jalan pikiran (urutan langkah-langkahnya) tidak tepat, maka kesimpulan juga tak tepat dan benar. Jalan pikiran itu mengenai pertalian atau hubungan antara titik pangkal/alasan/premis-premis dan kesimpulan yang ditarik dari padanya. Jika hubungan tersebut tepat dan logis, maka kesimpulan disebut sah (valid). Sebagai contoh bandingkanlah tiga pemikiran berikut ini. Perhatikanlah mengapa kesimpulan salah.





Semua orang berambut gondrong itu jahat
Para penjahat harus dihukum.
Jadi semua orang yang berambut gondrong harus dihukum.
        RG  =  P
                  P   =  H
      ______________
        RG            =  H
Jalan pikiran logis, tapi kesimpulan salah, karena titik pangkal salah: Berambut gondrong tidak sama dengan penjahat.
Tetangga saya mempunyai mobil.
Karena itu saya pun harus mempunyai mobil.
       T          =   PM
       Saya         =   T
      ____________________
       Saya         =   PM
Tidak cukup alasan, kita sama dalam hal apa dan dalam hal apa tidak sama.
Semua sapi itu binatang
Semua kuda itu binatang
Jadi sapi itu kuda
      S     =    B
      K    =    S
     _____________
      S     =    K
Kalimat pertama dan kedua memang benar, tetapi kesimpulan salah karena jalan pikiran (kaitan antara premis dan kesimpulannya) keliru.

Hegel, filosof dari bangsa Jerman (1834 – 1919)
Mengemukakan suatu sistem dialektika untuk mencari/menguji kebenaran. Tiap-tiap ide atau pemikiran yang benar-benar valid harus sudah melewati antitesisnya atau anti pemikiran. kebenaran yang mutlak menurut Hegel ialah sintesis akhir. Kekeliruan-kekeliruan pemikiran tidak akan kuasa menghadapi antitesisnya. Sebagai contoh, untuk menguji kebenaran paham atheisme harus dibenturkan dengan paham theisme, paham kapitalisme dibenturkan dengan paham komunisme, paham nasionalisme dibenturkan dengan paham internasionalisme. Disini akan terjadi seleksi alamiah paham-paham yang keliru. Pada masing-masing paham akan terseleksi dengan sendirinya, sampai akan melahirkan kebenaran yang mutlak dan kekeliruan yang mutlak. Kebenaran dan kesalahan merupakan dua sifat yang berlawanan, menurut hukum penyisihan jalan tengah, dua sifat yang berlawanan tidak akan dapat menyatu pada satu waktu dan satu benda yang sama.

Menurut pandangan penulis, produk pemikiran manusia itu ada dua tingkatan: tingkatan yang pertama ialah persepsi yang timbul secara langsung atau persepsi yang lahir dari pengamatan terhadap suatu realitas. Tingkatan yang kedua ialah persepsi yang tidak timbul dari pengalaman realitas melainkan timbulnya dari persepsi atau berbagai persepsi pemikiran yang pertama.
Disini penulis mencoba untuk sedikit memberikan masukan tentang Dasar-dasar/Prinsip-prinsip Berpikir secara Benar. Untuk memudahkan penyampaian, bahasan ini saya bagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
Dasar-Dasar Berpikir secara Benar.
Hakikat Realitas.
Cara yang Benar Melihat Hakikat Realitas.

Penjelasan
Dasar-Dasar Berpikir secara Benar
Sebelum penulis menjelaskan dasar-dasar berpikir secara benar, terlebih dahulu penulis mengulang kembali tentang pengertian berpikir, berpikir ialah upaya seseorang untuk menjawab persoalan. Pemikiran ialah hasil pengamatan otak terhadap realitas/fakta. Pemikiran yang benar ialah yang sesuai dengan realitas, pemikiran yang keliru ialah yang tidak sesuai dengan realitas. Realitas bersifat mutlak, ia adalah obyek pengamatan, ia tidak bisa berubah oleh pemikiran, melainkan pemikiran itu sendiri yang tunduk pada kemutlakan realitas.
Dari analisis diatas dapat dilihat bahwa prinsip/dasar berpikir secara benar ialah menentukan segala permasalahan menurut kenyataannya (berpikir secara realistis) atau sesuai dengan obyeknya (berpikir secara obyektif). Jadi apa yang dikatakan Prof. Dr. Aloei Saboe dan paham fenomenologi eksistensialisme dapat dipertanggung jawabkan, bahwasanya otak manusia tunduk pada realitas, bukan realitas yang tunduk pada otak manusia.
Menyadari bahwa indrawi dan otak manusia sangat terbatas untuk memahami hakekat realitas yang demikian luas dan kompleks, sehingga prinsip dasar berpikir obyektif ini sangat mengutamakan dan memprinsipkan kecanggihan sarana dan prasarana dalam melihat hakikat realitas untuk membantu keterbatasan inderawi dan otak manusia melihat realitas.
Satu hal disini yang perlu digarisbawahi tentang pengertian keterbatasan inderawi dan otak manusia. Tidak sedikit para ilmuwan yang berpaham dengan keterbatasan inderawi dan otak manusia, manusia tidak mampu untuk memahami hakikat suatu realitas. Mereka mengidentikkan keterbatasan dengan kerelatifan sehingga melahirkan kesimpulan bahwa sesuatu yang relatif tidak akan dapat melahirkan kemutlakan.
Menurut pendapat penulis, inderawi dan otak manusia memiliki kemampuan yang luar biasa, dan memiliki juga kelemahan pada batas-batas tertentu. Sebagai contoh kemampuan mata dalam melihat. Pada jarak sekitar 1 meter penglihatan tersebut tidak memiliki keterbatasan untuk melihat sesama manusianya, akan tetapi pada jarak 100 meter sudah tidak mampu untuk melihat seperti melihat dengan jarak 1 meter. Namun dengan kecanggihan peralatan, penglihatan pada jarak 100 meter sudah tidak terdapat lagi keterbatasannya, semua hasil pengamatan dapat mencapai kemutlakan.
Produk pemikiran manusia tentang adanya Allah, dapat dipertanggung jawabkan kemutlakannya, khususnya bagi orang agamawan, mustahil kedudukannya bersifat relatif dengan pengertian dapat salah dan dapat benar.
Dengan contoh-contoh yang sangat banyak, dapat disimpulkan bahwa dengan kemampuan inderawi dan otak manusia yang memiliki kelemahan tersebut, mampu untuk memahami dan menyingkapkan realitas tertentu secara mutlak. Orang yang tidak mempercayai adanya kemutlakan pemikirannya bahwa tidak ada kemutlakan pada produk pemikiran manusia, dengan demikian mereka sebenarnya mempercayai adanya kemutlakan pada pemikiran manusia.
Berpikir obyektif yaitu suatu pengamatan yang sesuai dengan obyeknya. Meskipun demikian tidak sedikit orang yang keliru mempersepsikan isi berpikir secara obyektif. Mereka mengira bahwa berpikir obyektif, mesti segala sesuatu yang bisa dinalarkan/dirasionalkan. Menurut mereka banyak sekali segala permasalahan tidak bisa dinalarkan/dirasionalkan. Padahal berpikir yang menyandarkan pemikiran pad realitas, tidak mesti segala sesuatu mesti dirasionalkan/dinalarkan. Berpikir obyektif sangat menerima segala permasalahan yang tidak atau belum dapat dinalarkan, sepanjang variabel penalaran tidak atau belum diterima. Penalaran atas segala sesuatu yang berpijak pada variabelnya justru tidak obyektif, begitu juga paham yang apriori terhadap paham keharusan berpenalaran pada sesuatu yang sudah bisa dinalarkan juga tidak benar.

Hakikat Realitas
Hakikat realitas didunia ini ada dua macam yakni:
Realitas kebendaan/jasmaniah
Realitas etika/rohaniah
Realitas kebendaan terdiri dari dua macam, yaitu:
Yang bersifat kongkrit, meliputi berbagai unsur, antara lain:
Ada Zatnya
Ada Bentuknya
Ada Sifat-sifatnya
Ada Interaksi kedalam dan keluar
Ada Persenyawaan-persenyawaan Baru
Yang bersifat abstrak yaitu berkenaan dengan nilai yang terdapat pada realitas kebendaan.
Realitas etika/kerohanian terdiri dari dua macam, yaitu:
Yang bersifat kongkrit, meliputi :
Persetubuhan, dengan cara berzina, memperkosa, sesama jenis atau dengan nikah.
Menindas dan yang memperjuangkan penindasan.
Dan lain sebagainya.
Yang bersifat abstrak, yaitu berkenaan dengan nilai yang terdapat pada realitas etika.

Cara yang Benar Melihat Hakikat Realitas
Hakikat realitas yang bersifat kongkrit, tidak dipengaruhi oleh manusia. Sifatnya tetap tidak berubah-ubah, sehingga untuk menyatakan atau melihat keadaannya tidak sulit asal sarana pengamatannya sudah memenuhi. Contoh pada realitas kebenaran keadaan hujan, sebab hujan, akibat yang ditimbulkan oleh hujan, pada realitas etika pencurian, pelacuran, pembunuhan dengan segala sebab dan akibatnya.
Hakikat realitas yang bersifat abstrak yaitu penetapan nilainya suatu realitas, untuk menetapkan hakikat realitas yang bersifat kongkrit. Nilai suatu realitas sifatnya tidak tetap, selalu berubah-ubah, banyak dipengaruhi oleh kondisi alam dan kehendak manusia.
Sebagai contoh dalam menetapkan nilai padi dalam kondisi alam yang baik berbeda saat kondisi alam tidak baik, atau apabila terjadi musibah wereng dan akan berbeda pula apabila masyarakatnya sedang perang atau adanya permainan politik oleh para penguasa, kadar atau grafik nilainya tidak sama.
Contoh nilai etika pada perbuatan pembunuhan, ukuran nilai pada dunia etika ialah kebaikan dan keburukan secara umum adalah keburukan karena mengakibatkan kerugian pada orang lain, nilai pembunuhan itu akan bergeser apabila motifnya untuk mempertahankan diri dari pembunuhan atau dari perkosaan, bahkan akan bernilai positif apabila dilakukan dalam perang atau menolong keselamatan raja.
Pada suatu perbuatan sering dijumpai pada sisi tertentu membawa kebaikan dan pada sisi lainnya membawa keburukan, seperti perbuatan judi. Untuk menetapkan nilai perbuatan yang seperti ini banyak dipengaruhi oleh faktor kekuasaan. Oleh karena itu untuk menetapkan nilai suatu perbuatan harus memiliki landasan alami, universal dan tidak sedikit orang-orang yang menyerahkannya pada kitab-kitab agama atau suara mayoritas. Dasar obyektif untuk menetapkan landasan nilai menurut pandangan penulis ialah yang memiliki hak dalam menetapkan nilai atau landasan alamiah secara menyeluruh. Untuk memahami pijakan alamiah diperlukan syarat yang berat, yaitu ilmu yang menyeluruh dan ketelitian yang tinggi.
Ringkasnya, cara untuk melihat realita ialah:
Pada realitas kongkrit dengan menggunakan sarana teknik dan manajemen yang canggih.
Pada realitas yang abstrak dengan menggunakan landasan alamiah dan universal atau dengan menggunakan konsep ketuhanan, berintikan pada dasar-dasar alamiah dan universal.
Kesimpulan seluruhnya ialah untuk menetapkan dasar/prinsip berpikir benar ialah obyektif, profesional, dan jujur (mengikuti obyek, menyingkap obyek dengan alat yang canggih, menerima realitas obyek).
Hikmah berpikir obyektif :
Memiliki keterbukaan dalam ilmu pengetahuan.
Tidak takut terhadap kritik dan pertanggungjawaban suatu persepsi.
Menghargai pendapat orang lain yang berisi kebenaran.
Memiliki kesediaan dan keberanian untuk mengakui kesalahan diri sendiri.
Menjauhkan diri dari sifat-sifat ashobiyah, yang memandang kebenaran dan kesalahan bukan dari pokok-pokok permasalahannya melainkan dari kedudukan seseorang atau dari golongan tertentu.
Melahirkan kepercayaan yang tinggi terhadap apa-apa yang diyakini sebagai suatu kebenaran.
Menumbuhkan kepercayaan diri. Tidak takut untuk mengoreksi kepada siapapun dan berdiskusi kepada siapapun yang diyakini mereka memiliki kekeliruan.
Mereka yang tidak berpikir obyektif hampir dapat dipastikan akan memiliki sifat-sifat yang bertentangan dengan karakter diatas.
(Bagi para instruktur hikmah diatas dapat lebih dijelaskan!).

Al-Qur’an mendidik para pembacanya untuk berpikir secara obyektif. Sebenarnya banyak sekali ayat yang menginformasikan tentang landasan pemikiran obyektif didalam syariat Islam, akan tetapi pada kesempatan ini, kami hanya mengangkat sebuah hadits yang sudah populer, yang prinsipnya berbunyi “dalam menumbuhkan suatu kepercayaan janganlah melihat orangnya, tetapi lihatlah isi atau potensi yang dibicarakan”.

Meskipun seorang ulama besar, apabila memiliki kekeliruan wajib bagi umat Islam untuk menegur dan tidak mengikuti kekeliruannya. Sebaliknya meskipun mereka orang kafir, apabila pembicaraannya benar, ada kewajiban bagi umat Islam untuk mengikutinya. Benar dan salah itu bukan berada atau bersumber pada kedudukan, pada kelembagaan dan pada individual, akan tetapi kebenaran dan kesalahan terdapat pada kesesuaian dan ketidaksesuaian antara pernyataan dengan obyek permasalahannya. QS At-Taubah ayat 31 menunjukkan ayat yang tegas, bahwasanya umat Islam dilarang untuk mengikuti suatu kekeliruan, sekalipun yang berbicara itu seorang ilmuwan.

Belajar pada Ahli Ilmu Pengetahuan
Cara kedua untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ialah belajar kepada ilmuwan atau ulama. Sebelum kita belajar kepada ulama, idealnya mengetahui apa dan siapa ulama yang memiliki kelayakan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan secara obyektif. Sejarah telah menginformasikan kepada kita tentang kejahatan-kejahatan para ilmuwan. Demi mencapai kedudukan yang tinggi dan untuk mencapai harta yang berlimpah-limpah, mereka tidak segan-segan mengkhianati ilmunya dan menipu masyarakat. Oleh karena itu kita harus waspada terhadap ilmuwan dimana kita menggantungkan diri. Untuk lebih memahami kedudukan ilmuwan secara rinci, bersama ini akan dibahas tentang keulamaan dalam beberapa sub topik, antara lain:
Ulama menurut aspek bahasa.
Esensi dan fungsi ulama
Meninjau kedudukan ulama menurut:
Tinjauan dalil
Tinjauan sejarah
Tinjauan sosiologis
Landasan menetapkan kedudukan ulama positif dan ulama negatif
Menurut tinjauan umum
Melewati Landasan Kepribadian Rasul SAW
Melewati hadits-hadits hukum
Menurut para ulama yang masyhur kesalehan dan kealimannya.
Menurut tinjauan sejarah
Kesimpulan
Evaluasi lingkungan
Sikap pemikiran dan sikap perilaku terhadap ulama positif dan ulama negatif
Cara-cara penguasa kafir dalam memainkan peranan ulama untuk menunjang kekafiran lewat pendekatan sejarah.
Untuk lebih jelasnya, tiap-tiap sub topik diatas akan diuraikan sebagaimana dibawah ini.

Ulama Menurut Aspek Bahasa
Kata ulama artinya orang-orang yang mengerti atau orang-orang berilmu. Kata ulama merupakan bentuk jamak dari kata alim yang berarti orang yang tahu atau orang yang berilmu. Kata ulama tersebut apabila tidak dihubungkan dengan perkataan lain maka kata tersebut mengandung arti yang masih umum, sehingga dapat diartikan orang-orang yang memiliki ilmu apapun, baik itu berkenaan dengan ilmu agama ataupun bukan. Apabila dihubungkan dengan kata-kata tertentu, misalnya ulama fiqh, ini artinya orang-orang yang mengetahui tentang masalah fiqh. Atau misalnya lagi, ulama politik, ulama teknik, maka artinya akan mengikuti kata tambahannya.
Menurut bahasa yang berlaku sekarang di Indonesia ini kata ulama atau alim ulama diartikan sebagai orang-orang yang ahli tentang agama Islam yang berkenaan dengan ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqh, ilmu kalam, bahasa Arab dan sebagainya. Kalau kita memasuki lebih dalam tentang hal-hal yang terdapat didalamnya meliputi seluruh ilmu pengetahuan yang terdapat pada alam ini. Walaupun masih diungkap secara global. Kalau dibahasakan dengan bahasa sekarang, maka ilmu pengetahuan agama Islam itu meliputi Filsafat Ketuhanan, Filsafat Etika, Filsafat Kemanusiaan yang meliputi bidang Biologi, Psikologi, Sosiologi, Hukum, Ekonomi, Politik, Seni, Kebudayaan, dan Kosmologi; serta ilmu pengetahuan alam, sedangkan pada masing-masing bidang tersebut masih terbagi lagi menjadi berbagai cabang pengetahuan. Maka mustahil seorang manusia menjadi ahli agama Islam dalam arti yang sebenarnya.
Oleh karena itu seharusnya ada standar kapan seseorang itu dapat dikatakan ahli dalam suatu bidang pengetahuan. Mungkinkah seorang yang hanya mengetahui sedikit bidang keilmuan tertentu dapat dikatakan sebagai orang yang ahli?
Untuk mengetahui keahlian seseorang pada bidang keilmuan tertentu pada masa sekarang ini sudah tidak sulit. Kita bisa melihat tingkat pendidikan yang dimiliki, nilai pendidikan, dan pengalaman keilmuannya. Pada mereka yang tidak memiliki pendidikan formal, dapat dilihat serta karya-karya ilmiahnya. Para politisi abad sekarang tidak terlalu menyandarkan pendidikan formal sebagai satu-satunya alternatif. Murtadha Muthahari, seorang ilmuwan Iran, mendefinisikan intelektual tidak mesti dari pendidikan formal.
Semoga penjelasan ini dapat memberikan kepekaan akan arti yang sesungguhnya seorang figur ulama, sehingga nantinya kita dapat belajar atau bertanya kepada mereka yang memang benar-benar ahlinya.

Esensi dan Fungsi Ulama
Dari tinjauan bahasa, dapat diketahui bahwa esensi ulama ialah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan, dengan demikian fungsi ulama ialah mengajarkan dan mengamaliahkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Seorang ulama yang tidak mengajarkan dan mengamaliahkan ilmunya, secara tinjauan fungsional tidak dapat dikatakan sebagai ulama dan secara fungsional mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang awam, yang tidak memiliki keahlian pada pengetahuan tertentu. Begitu juga bagi ulama yang hanya mengajarkan tetapi tidak mengamalkan, tidak ada artinya ilmu tanpa amaliah.
Ibarat orang yang mempunyai keahlian membuat roti dan senantiasa rutin mengajarkan kepada masyarakat cara-cara membuat roti. Apabila tidak ada yang mengamaliahkan pembuatan roti maka adanya orang yang ahli membuat roti dan adanya pengajaran pembuatan roti tidak ada bedanya dengan tidak adanya orang yang ahli membuat roti dan tidak adanya pengajaran pembuatan roti, yaitu bahwa masyarakat sama-sama tidak merasakan roti.

Meninjau Kedudukan Ulama
Tinjauan Dalil
Dalil-dalil yang Positif
Arti para ulama itu sebagai pelita di permukaan bumi dan pengganti para nabi dan sebagai pewarisku dan pewaris nabi-nabi. (HR. Ibnu Ady dari Sayidina Ali ra.).








Dan demikian diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi Maha Pengampun.
(QS. Faathir [35] ayat 28)

Dalil-dalil yang Negatif





Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tidak memikulnya adalah keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal..
(QS. [62] Al-Jumu’ah ayat 5)








Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani, benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalangi manusia dari jalan Allah … (QS At-Taubah [9] ayat 34)






Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka, tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan (QS. Al-Maidah [5] ayat 63)
Celakalah bagi ummatku (akibat) daripada (perbuatan) ulama-ulama su’. (HR. Al-Hakim dari Anas ra.)
Akan tetapi bagi manusia ada suatu zaman dimana agama Islam tidak tinggal kecuali hanya namanya saja, dan tidak ada yang tinggal daripada kitab Al-Qur’an kecuali hanya huruf dan tulisannya saja, masjid-masjidnya mentereng dan megah tetapi sunyi daripada petunjuk. Ulama mereka adalah manusia yang paling jahat (jelek) dari antara mereka yang ada di bawah langit. Dari mereka (para ulama itu) muncul bermacam-macam fitnah dan (fitnah itu) kembali ke dalam lingkungan mereka.
(HR. Imam Baihaqi)
Kecelakaan adalah bagi umatku dari akibat perbuatan ulama yang paling jelek (jahat). Mereka memperdagangkan ilmu ini. Mereka sama menjualnya kepada para penguasa (raja) dimasa mereka dengan maksud untuk keuntungan mereka sendiri. Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada perdagangan mereka itu. (HR. Hakim dalam Kitab Tarikh, dari Anas ra)
Aku pernah bertanya: “Ya Rasulullah saw, mana manusia yang paling jahat atau jelek?” Maka Rasulullah saw bersabda: “Ya Allah, hapuskanlah dosa-dosa kami. Bertanyalah kamu dari hal kebaikan, dan janganlah kamu bertanya dari hal kejahatan. (Ketahuilah!) sejahat-jahat manusia itu, yaitu sejelek-jelek ulama di tengah-tengah manusia. “ (HR. Al-Bazaar dari Muadz bin Jabal ra)
Apabila tergelincir seorang ulama, maka tergelincirlah suatu alam daripada makhluk (lingkungan sekitar) karena sebab tergelincirnya (ulama tersebut). (al-Hadits).

Ringkasnya, kedudukan ulama yang positif ialah pelita bumi, pengganti para nabi, pewaris nabi Muhammad SAW, pewaris nabi-nabi dan orang-orang yang takut kepada Allah.
Sedangkan kedudukan ulama yang negatif ialah:
Keledai yang memikul kitab tebal
Memakan harta dengan jalan batil
Menghalangi manusia dari jalan Allah
Tidak melarang kezaliman
Ulama su’ (ulama jahat), sejelek-jelek manusia ditengah umat
Tukang fitnah atau sumber fitnah
Penjual ilmu untuk keuntungan diri bukan untuk kepentingan umat
Tukang menggelincirkan umat
Menurut tinjauan dalil-dalil diatas dapat diketahui bahwa kedudukan ulama ada dua versi yaitu Ulama Penerus Misi Rasul dan Ulama Perusak Umat.

Tinjauan Sejarah
Ulama penerus misi rasul dan ulama perusak umat tidak hanya disinyalir pada dalil-dalil seperti yang telah disebutkan diatas, melainkan dapat diamati pada perjalanan hidup manusia. Kita dapat melihat perjalanan sejarah para ulama dan rahib-rahib pada zaman Nabi Musa dan sesudahnya, zaman Nabi Isa dan sesudahnya, zaman Nabi Muhammad dan sesudahnya. Apalagi pada zaman pergerakan Islam modern seperti saat ini dan khususnya di Indonesia, kita dapat menyaksikan sejarah kehidupan manusia diwarnai oleh ulama penerus misi Rasul dan ulama penyesat umat.
Saya menempatkan orang-orang yang dibina langsung oleh nabi sendiri, kedudukannya dan esensinya tidak ubahnya seperti ulama bahkan akan lebih alim karena mereka dibina oleh manusia yang dipelihara kesalahannya. Hal ini saya tegaskan untuk menghindarkan kesalahpahaman apabila nanti saya mengisahkan kejahatan ulama dengan menampilkan contoh pengikut-pengikut para Rasul yang tidak meneruskan jejaknya.
Di Indonesia kita dapat menyaksikan berbagai organisasi ulama; ada organisasi ulama yang terhimpun pada Majelis Ulama Indonesia, Departemen Agama, GUPPI, PNI, ICMI, dan Muhammadiyah, yang satu sama lain memiliki kepribadian yang tidak sama, cenderung kontradiktif. Kalau kita mendudukkan mereka dengan standar Allah dan Rasul-Nya, niscaya akan mendapatkan adanya ulama warisatul nabi dan ulama yang menentang warisan para nabi-nabi, yaitu ajaran wahyu. Dari tinjauan secara global dapat disaksikan bahwa kedudukan ulama ada yang positif dan ada yang negatif.

Tinjauan Sosiologis
Pengaruh kedudukan ulama ditengah masyarakat besar sekali, warna kehidupan suatu masyarakat hampir ditentukan oleh para ilmuwannya. Kita bisa menyaksikan keadaan suatu bangsa pada sub-sub kehidupannya, misalnya, pada dunia teknologi, komunikasi, sarana angkutan, seni, olah raga, etika, semua kemajuan dan perkembangannya sangat ditentukan oleh para ilmuwannya. Di negara-negara yang tingkat peradabannya sudah maju dan menyadari akan potensi ilmuwan pada suatu kehidupan bangsa, mereka menempatkan kedudukan para ilmuwannya demikian tinggi. Kita bisa melihat Indonesia saja. Para mahasiswa dan pelajar yang tingkat pemikirannya cukup tinggi akan mendapatkan beasiswa tidak hanya didalam negeri bahkan sampai ke luar negeri. Sedangkan para ilmuwannya yang terdapat didalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak dibolehkan untuk bekerja, mereka diberi rumah dengan segala perlengkapannya. Diberi mobil, dengan gaji yang sekarang ini kurang lebih Rp. 4.000.000 per bulan. Mereka hanya diperintah menekuni dan mengamaliahkan ilmunya. Pada kehidupan Islam kita dapat melihat Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada mulanya Nabi Muhammad saw bekerja sebagai penggembala domba, kemudian beliau bekerja sebagai karyawan perdagangan yang dimiliki oleh Siti Khadijah dan sempat menjadi jutawan yang besar, sehingga beliau menikahi majikannya yang memiliki areal perdagangan sampai ke Mesir dan Iran, sepertinya hidup ini adalah untuk bekerja meningkatkan kehidupan material. Setelah berumur 40 tahun, beliau mulai menghayati kehidupan dan pembimbing umat memasuki kehidupan yang benar dan meninggalkan kehidupan yang sesat.
Pekerjaan baru yang ditempuhnya ini jauh lebih berat dibandingkan dengan pekerjaannya yang dahulu. Kalau dahulu beliau mencurahkan pikiran dan tenaga untuk mendapatkan materi, sekarang beliau mencurahkan pikiran dan tenaga bukan memperoleh materi tetapi harus mengeluarkan materi. Sampai-sampai seluruh hartanya habis dan beliau meninggal dengan tidak meninggalkan harta, tetapi beliau berhasil membangun peradaban umat manusia yang tinggi. Contoh kedua, bisa menyaksikan teguran Umar bin Khathab kepada Abu Bakar, ketika beliau hendak bekerja di pasar sebagai penjual kain. Kisah itu pada prinsipnya Umar melarang bekerja dengan alasan beliau sebagai khalifah, yang mengatur dan membimbing umat manusia, bagaimana dapat menghasilkan kerja yang efektif seseorang yang tugasnya pembimbing meninggalkan bimbingannya.
Kemudian Umar merundingkan dengan dua orang sahabatnya, untuk mengupayakan pembiayaan hidupnya Abu Bakar beserta keluarganya agar Abu Bakar dapat bekerja dengan penuh waktu dan penuh konsentrasi dalam rangka membangun peradaban umat manusia yang telah dipimpinnya.
 Sudah menjadi persepsi internasional, bahwa hancurnya suatu masyarakat sangat ditentukan oleh para ilmuwannya. Oleh karena itu sangat penting bagi umat Islam untuk memelihara dan mengontrol kepribadian dan kualitas serta kehidupan para ulamanya. Karena apabila mereka sampai menjual ilmunya kepada orang-orang yang kafir, sehingga mengikuti kemauan orang-orang yang kafir atau rendah kualitas ilmunya. Hal ini dapat menimbulkan kejenuhan dan jauhnya umat Islam dari pengetahuan Islam akibatnya seluruh umat Islam akan mengalami kerugian. Sisi lain yang juga perlu untuk diperhatikan ialah mental ulamanya sendiri. Tidak sedikit para ulama yang tidak tahan terhadap ujian duniawi, sehingga mereka tidak segan-segan menjual umatnya demi kepentingan diri sendiri, akhirnya umat Islamlah yang menjadi korban. Oleh karena itu idealnya umat Islam memahami dan mengenal kriteria ulama penerus misi rasul dan ulama penentang misi rasul. Dengan mengenal kriteria tersebut, umat Islam dapat membuat perbatasan, penempatan diri serta dapat melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Landasan Menentapkan Kedudukan Ulama Positif dan Ulama Negatif
Untuk mengetahui kriteria ulama positif dan ulama negatif, kita harus memiliki pijakan yang obyektif dan Islami. Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa ulama itu ada dua macam yaitu ulama Warisastul Anbiya dan ulama Su’.

Melewati Landasan Umum
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, para nabi setelah wafatnya tidak meninggalkan pangkat, kedudukan dan harta duniawi, akan tetapi beliau meninggalkan risalah Ketuhanan yang berupa ilmu pengetahuan dan kepribadian yang tinggi, demikian pula pada nabi yang terakhir. Pada haji wada’, misalnya, Rasulullah saw telah memesankan suatu himbauan kepada umatnya, dengan penekanan yang sangat kuat. Himbauan yang demikian ini dapat disebabkan karena tiga hal, yaitu: pertama, karena beliau akan meninggalkan umatnya yang dikasihinya; kedua, karena nilai pesanannya yang demikian tinggi, dan ketiga karena kedua-duanya. Pesan tersebut adalah sebagai berikut.
Dari Katsir bin Abdullah dari ayahnya dari datuknya ra, berkata: “Rasulullah saw pernah bersabda: ‘Aku telah meninggalkan untuk kamu semua dua perkara yang kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguh dengan keduanya, yakni kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya’.” (HR Ibnu Abd al-Barr).
Dari hadits tersebut dapat diambil dua pelajaran, pertama, Rasulullah saw meninggalkan atau memberi warisan kepada umatnya berupa Al-Qur’an dan Al-Hadits, kedua, Rasulullah memberi petunjuk bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan petunjuk atau dasar atau landasan kehidupan yang membawa kepada kebenaran.

Melewati Landasan Kepribadian Rasul SAW dan Nabi-nabi
Pada surat Al-A’raaf ayat 3 yang berbunyi: Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, jangan kamu mengikuti pemimpin selainnya amat sedikit kamu yang mengambil pelajaran, terdapat dua perintah dan satu peringatan. Perintah yang pertama mengharuskan kepada rasul dan orang-orang yang beriman untuk menjadikan wahyu sebagai auliya atau dasar, asas, landasan kehidupan dan perintah yang kedua, Allah memerintahkan untuk tidak menjadikan yang selain wahyu sebagai auliya. Sedangkan isi peringatannya ialah untuk memikirkan tentang peristiwa-peristiwa sosial bagi suatu bangsa yang tidak menjadikan wahyu sebagai auliya dan bangsa yang menjadikan wahyu sebagai auliya.
Di zaman prasejarah kita bisa melihat kekuasaan Namrudz, Fir’aun, Jallut yang telah dihancurkan oleh Allah. Warisan etika yang ditinggalkan kepada umat sesudahnya ialah raja yang diktator, penghisap rakyat, memperkosa hak asasi manusia, penyebar kemaksiatan dan sumber penyakit. Sedangkan bagi mereka yang menjadikan wahyu sebagai petunjuk, seperti Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Ibrahim, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad saw, telah meninggalkan peradaban etika yang tinggi. Umat yang ditinggalkan memandang mereka sebagai penegak hak asasi manusia, pembimbing umat ke jalan yang benar, pembawa rahmat dan sebagai pemimpin yang perlu diteladani. Untuk memudahkan perbandingan tentang kualitas mereka yang menjadikan wahyu sebagai pemimpin dengan mereka yang tidak menjadikan wahyu sebagai pemimpin dapat menyaksikan individu-individu disekitar kita, bagaimana mereka dalam berbicara, memandang seks, dalam memandang harga diri dan etika atau bangsa-bangsa yang berada disekitar kita, bagaimana suatu bangsa yang tidak menjadikan wahyu sebagai petunjuk dengan bangsa yang menjadikan wahyu sebagai petunjuk.
Insya Allah dengan pemikiran yang jernih, akan dapat menetapkan kualitasnya. Semua nabi-nabi senantiasa menjadikan wahyu sebagai petunjuk kehidupan dan mengajak masyarakat untuk menjadikan wahyu sebagai petunjuk. Dari landasan ini dapat disimpulkan bahwa ulama yang warisatul anbiya’ pasti menjadikan wahyu sebagai petunjuk bagi dirinya dan mengajak masyarakat untuk bersandar kepada wahyu. Sebaliknya ulama yang tidak mewarisi pribadi dan misi rasul, mereka tidak mau menjadikan wahyu sebagai petunjuk, dan mengajak masyarakat untuk berpetunjuk kepada selain wahyu.
Rasulullah saw tidak hanya menjadikan dan mengajak masyarakat menjadikan wahyu sebagai petunjuk akan tetapi mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mengamaliahkan petunjuk wahyu tersebut pada kehidupan sehari-hari. Ada empat kepribadian Rasulullah yang penting untuk dapat dijadikan landasan penilaian menetapkan kualitas ulama, yaitu:
Kepribadian Rasulullah saw dalam menegakkan kasih sayang terhadap sesama saudaranya.
Kepribadian Rasulullah saw dalam menegakkan sikap terhadap orang-orang yang memusuhi Islam.
Kepribadian Rasulullah saw dalam memandang kedudukan, dan harta kehidupan duniawi.
Kepribadian Rasululllah saw dalam menegakkan dan memperjuangkan syariat Islam
Ikatan kasih sayang antara umat Islam demikian indahnya sampai digambarkan seperti ikatan tubuh. Apabila ada sebagian tubuh yang sakit maka bagian tubuh yang lainnya akan ikut merasakan, dan seperti bangunan yang satu sama lain saling menguatkan. Tidak hanya manusia yang mengagumi ikatan kasih sayang yang dijalankan Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya, bahkan Allah sendiri sangat mengagumi dan menunjukkan simpatinya melalui malaikat Jibril yang dalam bentuk wahyu pada dua peristiwa. Yaitu tatkala Rasulullah saw bersumpah dengan sahabat-sahabatnya dibawah pohon untuk melakukan tindak pembelaan atas kematian Ustman yang diperkirakan dibunuh oleh orang-orang kafir Quraisy, walaupun mereka harus memasuki sarang singa tanpa kekuatan senjata. Penghormatan Allah terhadap mereka tertulis di Al-Qur’an surat Al-Fath ayat 9-10. Dan sambutan dan perlakuan orang-orang Anshar terhadap Muhajirin, pujian Allah terhadap mereka diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 9-10.
Dalam menempatkan orang-orang yang memusuhi Islam sebagai musuh, dapat dipelajari pada sikap Nabi Ibrahim terhadap ayahnya, nabi Nuh terhadap anaknya, dan Nabi Muhammad saw terhadap keluarganya, serta peperangan-peperangan yang dilakukan oleh nabi dan sahabat-sahabatnya dengan orang-orang kafir Quraisy pada kenyataannya adalah perang sesama keluarga. Bahkan Abu Bakar dengan penuh kesadaran ingin membunuh ayahnya sendiri ketika terjadi perang Uhud. Dalam syariat Islam kecintaan kepada Allah dan Rasul melebihi dari segalanya (QS 9:24).
Tentang pangkat yang berisi sifat-sifat kekafiran, kefeodalan dan keningratan yang memisahkan dan memberikan batasan-batasan manusia dan tidak dari ilmu dan kepribadiannya melainkan pada harta dan rasa kebangsaannya serta berisi sifat-sifat pengkultusan. Dalam hal ini Rasul Allah sangat menentangnya. Pernah suatu saat para sahabat rasul duduk berkerumun pada suatu tempat, tiba-tiba Rasulullah saw mendatangi mereka, dengan serentak mereka berdiri, maksudnya untuk memberi hormat. Rasulullah sangat marah, beliau menyatakan bahwa beliau adalah seorang nabi bukan seorang raja. Dalam hal melakukan perbincangan dengan sahabat-sahabatnya, Rasulullah tidak pernah membedakan posisinya diantara mereka, sehingga pernah seorang asing yang akan menemui rasul, sangat heran melihat situasi yang seperti itu. Pendatang tersebut sampai menanyakan mana diantara yang berkumpul itu yang menjadi utusan Allah. Demikian rendah hatinya sifat utusan Allah tersebut terhadap sahabat-sahabatnya, sehingga pernah ada seorang sahabatnya yang ada penyakit didalam hatinya memperlakukan kerendahhatian sifat Rasulullah yang sedemikian rupa ini, lalu ia mempermainkan dan bersikap main-main terhadap rasul. Sehingga Allah menegurnya melalui wahyu. Perlu disini saya tegaskan untuk menghindari kesalahpahaman, bahwa Islam tidak melarang pengikutnya untuk menduduki kedudukan-kedudukan penting pada suatu aktivitas, melainkan yang dilarang oleh Islam ialah kedudukan yang didalamnya berisi sifat-sifat kekafiran dan mendukung kekafiran.
Prinsip Rasulullah saw tentang hartadapat dimengerti dari dua penyataannya. Yaitu: kemiskinan seorang muslim dapat memudahkan seorang melakukan kekafiran,dan yang ditakuti pada umatku bukan karena miskinnya melainkan mereka berada pada kemegahan. Kemiskinan dan kemegahan adalah dua keadaan yang dapat membuat manusia melupakan diri kepada kehidupan akhirat apabila umat Islam tidak memiliki keimanan yang tangguh. Kekayaan bagi Rasulullah adalah alat untuk mencapai keridhaan Allah. Hal ini dapat dibuktikan dari sejarah, dimana beliau sebelum mendapatkan wahyu, dan diperintah untuk menyampaikan dan menegakkannya, seluruh hartanya menjadi sirna. Demikian pula yang terjadi pada sahabat-sahabatnya, seperti Abu Bakar dan Utsman bin Affan misalnya, dahulunya mereka adalah orang-orang yang kaya, setelah mengenal Islam mereka menjadi miskin, sebagian besar hartanya dipertaruhkan benar-benar pada jalan Allah.
Disini perlu kami sampaikan bahwa kemiskinan dan kesusahan yang dialami oleh nabi dan sahabat-sahabatnya itu bukan menjadi tujuan hidupnya atau mereka senang terhadap kemiskinan, melainkan penderitaan dan kemiskinan yang dikorbankan pada jalan Allah bagi pandangan mereka adalah alat untuk mendapatkan kebahagiaan. Jadi Islam tidak mengajarkan kepada hambanya untuk mengabdi kepada Allah dengan segala yang dimilikinya. Oleh karena itu kemiskinan yang diakibatkan oleh perjuangan menegakkan kalimatullah merupakan suatu kemuliaan. Apa yang dilarang ialah menjadikan kemiskinan sebagai tujuan kehidupan, seperti yang diajarkan oleh agama Hindu dan kepercayaan tertentu. sebaliknya Islam tidak mengajarkan hambanya untuk menjadi kaya, atau menjadikan kekayaan sebagai tujuan hidup tanpa memperhatikan lingkungan yang ada atau memperhatikan keadaan umat Islam apakah tengah dijajah atau tidak, sehingga berprinsip hidup menjadi kaya. Islam memperbolehkan hambanya menikmati kekayaan dengan syarat yang sudah ditentukan, dan umat Islam dalam keadaan mereka, dan tidak tertindas. Kalau mereka seorang muslim yang mengikuti ajaran rasul, bagaimana mereka dapat enak menikmati kehidupan sementara saudaranya mengalami penderitaan yang sangat. Dalam sebuah hadits dikatakan tidak masuk surga seorang muslim yang membiarkan tetangganya mati dalam kelaparan.
Nilai usaha dan perilaku Rasulullah saw dalam menegakkan dan memperjuangkan syariat Islam dapat dibuktikan dengan penderitaannya yang sedemikian rupa sehingga seluruh hartanya habis, anak-anaknya diceraikan dari para suaminya, sahabat-sahabatnya dibunuh. Sampai melakukan hijrah dan perang. Hidup bagi rasul adalah menegakkan syariat Islam. Pernah beliau ditawari oleh orang-orang kafir untuk berhenti menegakkan kalimatullah dengan segala fasilitas kehidupannya akan dipenuhi secara istimewa. Akan disediakan untuk beliau beberapa wanita cantik yang terdapat di jazirah Arab, disediakan kedudukan yang tinggi dan harta yang berlimpah. Dengan sikap yang pasti beliau berkata: “Andaikata (orang-orang kafir) dapat memberikan bulan ditangan kiriku dan matahari ditangan kananku niscaya aku akan menolaknya”.
Perjuangan menegakkan kalimatullah bagi rasul merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditinggalkan. Ia ibarat sumber kehidupan baginya, tertinggal berarti kematiannya. Itulah empat kepribadian Rasulullah yang tidak pernah terpisahkan darinya.
Dari landasan kepribadian rasul diatas insya Allah dapat djadikan tolok ukur yang obyektif dalam rangka menentukan ulama yang meneruskan misi rasul dan ulama su’, yaitu ulama yang tidak mengikuti bahkan menentang sunnah Rasul. Pada prinsipnya seorang ulama yang aktivitas dan kepribadiannya sama dengan empat kepribadian rasul diatas berarti beliau adalah ulama pewaris para nabi, sebaliknya apabila bertentangan dengan kepribadian diatas maka mereka adalah ulama su’. Dapat dicontohkan pada kasus-kasus yang ada, bagaimana penampilan ulama yang menjadikan wahyu sebagai dasar dan menampilkan ulama yang sudah tidak menjadikan wahyu sebagai dasar dan senantiasa mengajak masyarakat untuk berdasar selain wahyu. Mana ulama yang demikian mengasihi terhadap sesama muslim dan memusuhi terhadap yang memusuhi Islam dan mana ulama yang memusuhi umat Islam yang teguh melaksanakan syariat Islam dan berkasih sayang terhadap yang memusuhi umat Islam. Mana ulama yang benar-benar menumpahkan kehidupannya untuk perjuangan melaksanakan syariat Islam sampai banyak merasakan penderitaan kehidupan dan mana ulama yang hanya menjadikan Islam sebagai alat untuk mendapat kedudukan dan untuk mendapatkan harta.

Melewati Tinjauan Hadits-hadits Hukum
Untuk mengetahui ulama pewaris misi rasul dan ulama su’ lewat landasan hadits-hadits hukum dapat dilihat pada permasalahan meninjau kedudukan ulama menurut tinjauan dalil. Selanjutnya saya akan meninjau kedudukan ulama warisatul anbiya dan ulama su’ dalam hubungannya dengan para penguasa. Saya jadikan hubungan ulama dan umara’ sebagai dasar untuk menetapkan ulama warisatul anbiya dan ulama su’ disebabkan banyaknya dalil-dalil yang membicarakan masalah tersebut. Dalil-dalil itu antara lain :
Akan datang dikemudian hari setelah saya beberapa pemerintah (umara’) yang berdusta dan berbuat aniaya. Maka barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka dan menolong tindakan mereka yang aniaya itu, ia bukan termasuk dari umatku, dan bukanlah aku daripadanya dan ia tidak dapat datang diatas telaga (yang ada di sorga). (HR. Nasa’i, Tirmidzi, Hakim dari Ka’ab bin Ujrah)
Mengenai bentuk pemerintah yang berbuat dusta dan aniaya, diterangkan pada hadits dibawah ini:
“Mudah-mudahan Allah melindungi engkau dari (akibat) para pemegang pemerintah yang jahat perangai”. Ka’ab bin Ujrah bertanya, “Bagaimana pemegang pemerintah yang jahat perangai itu?” Jawab Rasulullah saw : “Yaitu para amir (pemegang pemerintahan) yang akan ada pada zaman setelah aku yang mana mereka itu tidak mengambil petunjuk pada petunjukku dan tidak sama dalam mengikuti sunnahku. Maka barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka dan membantu kedholiman mereka, orang-orang itu bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongan mereka dan orang-orang itu tidak akan datang ke telagaku. Dan barang siapa yang tidak membenarkan kedustaan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka, orang-orang itu dari golonganku dan aku dari golongan mereka dan mereka akan datang ke telagaku. (HR. Nasa’i, Tirmidzi, Hakim, dari Ka’ab bin Ujrah)
Sejelek-jelek ulama adalah mereka yang datang kepada para pejabat pemerintahan. (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra)
Ulama itu pemegang amanah rasul selama tidak mencampuri urusan raja dan tidak memasuki keduniaan. Maka apabila mereka telah mencampuri kekuasaan-kekuasaan penguasa dan memasuki keduniaan, maka sesungguhnya mereka telah mengkhianati para rasul, maka dari itu hendaklah kamu semua takut akan (mendekati) mereka. Dan pada riwayat lain disebutkan, maka dari itu menyingkirlah kami semua dari mereka. (Hadits hasan riwayat Al-Baihaqi dan Al-Uqaili dari Anas ra)

Yang dimaksud dengan mencampuri urusan kekuasaan raja ialah ulama yang terlibat kerjasama, toleransi, dan bahu-membahu dalam kesesatan penguasa, akan tetapi apabila para ulama bekerja sama dengan penguasa yang Islami dan berjalan pada jalan yang benar, maka hal itu tentu diperbolehkan, bukanlah para nabi dan sahabat-sahabat rasul juga tidak sedikit menjadi penguasa?
Sedangkan yang dimaksud mencampuri urusan keduniaan ialah ulama yang memotivasi dan orientasinya pada keduniaan sedangkan potensi yang digunakan adalah ayat-ayat Allah. Menurut akal yang sederhana saja, saya kira dapat diterima pendapat bahwa suatu ketetapan yang tidak mengikuti Allah dan Rasul-Nya pasti akan membawa kepada kehancuran. Bagaimana mungkin bahwa seorang ulama yang memiliki keilmuan lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya, yang sewajarnya melakukan amar ma’ruf kepada penguasa yang demikian itu, malahan bersekutu, tolong-menolong dalam kesesatan. Sungguh terkutuklah ulama yang seperti itu, khususnya terhadap mereka yang telah disesatkannya. Penggambaran kemarahan mereka telah dituangkan Allah pada surat Al-Ahzab ayat 66-68.
Penegasan dilakukan ini untuk memberikan kewaspadaan kepada hamba-hamba Allah yang awam untuk berhati-hati terhadap perilaku pemimpin atau ulama, sekaligus Allah memberi petunjuk secara implisit agar supaya umat Islam pada umumnya giat menuntut ilmu, karena hanya yang berilmulah yang mengetahui kejahatan ulama. Seperti halnya dokter yang mengetahui kejahatan dokter, yang mengetahui kejahatan arsitek adalah arsitek.
Jadi ulama su’ ialah ulama yang terlibat pada urusan kekuasaan penguasa yang tidak menjadikan sunnah Rasul sebagai petunjuknya, sedangkan ulama warisatul anbiya’ ialah ulama yang tidak melibatkan diri kepada kekuasaan penguasa yang sudah diketahui bahwa penguasa tersebut tidak menjadikan sunnah Rasul sebagai petunjuk. Hubungan mereka seperti para nabi terhadap penguasa yang zalim, seperti Nabi Ibrahim terhadap raja Namrudz atau Nabi Musa terhadap Fir’aun, dan Nabi Muhammad saw terhadap penguasa Quraisy.
Imam Abu Hanifah adalah figur ulama yang dapat dijadikan barometer sebagai ulama yang warisatul anbiya’ dalam menjalin hubungannya dengan penguasa yang ada saat itu. Beliau adalah seorang alim yang besar dan seorang yang benar-benar menjunjung tinggi nilai ketakwaan kepada Allah. Beliau lahir dikota Kufah tahun 80 Hijriyah (699 M). Walaupun beliau bukan bangsa Arab, namun dari kalangan ajam, ditengah-tengah bangsa Persia. Pada usia 50 tahun beliau ditangkap oleh gubernur Irak, Yazid bin Amir bin Hurairah Al-Fazzary, selaku wakil dari khalifah Bani Umayyah yang Marwan bin Muhammad (Khalifah Bani Umayyah ke-14).
Beliau dijatuhi hukuman cambuk sebanyak 110 kali karena menolak tawaran gubernur untuk menjadi hakim (qadhi) dan kepada urusan perbendaharaan negara. Penolakan ini tentu didasari oleh penilaian beliau terhadap sistem pemerintahan yang dijalankan oleh gubernur Irak yang menurut beliau tidak Islami lagi, sehingga beliau yakin akan dijadikan alat saja oleh pemerintahan yang tidak menjunjung nilai-nilai ketakwaan itu. Sampai beliau berikrar: “Demi Allah! Aku tidak menerima jabatan yang ditawarkan kepadaku, walaupun aku dibunuh”.
Pada zaman kekhalifahan Bani Abbasiyah, yakni pada saat pemerintahannya dipegang oleh Abu Ja’far Al-Manshur, khalifah yang ke-2, Abu Hanifah pernah ditawari oleh Al-Mansur untuk menjadi seorang hakim, akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Abu Hanifah, karena beliau takut kalau tidak bisa menjaga kesucian agama pada pribadinya. Latar belakang penolakan tersebut karena fatwa-fatwa yang beliau keluarkan sering bertentangan dengan fatwa yang dikeluarkan mufti kerajaan yang resmi, yang pada waktu itu dijabat oleh Imam Ibnu Abu Laila. Imam ini memegang jabatan qadhi sejak khalifah Abul Abbas Al-Shaffah (khalifah yang pertama). Karena fatwa Imam Abu Hanifah sering menyalahi fatwa resmi, maka beliau pernah dilarang memberi fatwa kepada orang ramai oleh pihak pemerintah bahkan para ulama banyak yang takut dekat-dekat dengan beliau karena khawatir kalau-kalau dituduh pro dan bersahabat karib dengan beliau, karena beliau dituduh orang yang berbahaya.
Pada suatu hari, beliau disuruh menghadap khalifah lagi, diantaranya juga kaum Sufyan Al-Tsauri dan Imam Syarik Al-Nakha’y, kemudian sang khalifah memerintahkan “Imam Sofyan Al-Tsauri, engkau saya tetapkan menjadi qadhi di kota Bashrah dan Imam Syarik, engkau saya tetapkan menjadi qadhy di kota Baghdad dan Imam Abu Hanifah, engkau saya tetapkan menjadi qadhi qudhat kerajaan, berangkatlah sekarang juga ke tempat tugas masing-masing. Barangsiapa yang menolak akan mendapat hukuman seratus kali dera.”.
Imam al-Tsauri melarikan diri ke Yaman, Imam Syarik menerima jabatan dari kholifah, dan Imam Abu Hanifah tidak mau menerima tetapi juga tidak mau melarikan diri. Maka beliau dijebloskan ke dalam penjara lagi. Leher beliau dirantai dengan besi yang berat. Pada setiap pagi hari didera dengan cemeti sampai badan dan muka beliau berdarah. Namun pendirian beliau tidak beranjak dari semula. Karena kehabisan akal, Khalifah Al-Mansur mendatangkan ibunya agar sudi membujuk beliau, supaya mau menerima jabatan yang diberikan khalifah. Ibunya Imam Abu Hanifah yang tua renta berjalan dengan merunduk-runduk ke dalam penjara dan berkata, “Wahai anakku yang tercinta, mengapa ilmu yang kau miliki membawamu menjadi bencana yang menyebabkan engkau ditahan, dicambuk dan dirantai lehermu dengan kalung besi, oleh karena itu buang sajalah ilmumu itu”.
Permintaan ibunya untuk menuruti kehendak khalifah disambut dengan tegas oleh Abu Hanifah: “Ibuku jika saya menghendaki kemewahan harta dunia tentunya tidak dipukuli, tetapi saya menghendaki keridhaan Allah. Saya tidak akan memalingkan ilmu yang saya miliki ini, karena saya takut menjadi yang terkena kutuk dan siksa Allah”, akhirnya ibunya pun gagal untuk membujuknya. Sebagai upaya yang terakhir, Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur, melakukan perbuatan yang keji. Khalifah memaksa Imam Abu Hanifah untuk meminum racun sampai beliau meninggal dipenjara.
Sebenarnya masih banyak contoh ulama warisatul anbiya yang memiliki kualitas seperti Imam Malik, Imam Syafii, Imam Hambali, Ibnu Taimiyah, Abdul Qodir Audah, Sayid Qutub, dan lain sebagainya.
Untuk lebih mendalam kualitas Imam Abu Hanifah dan pokok permasalahan yang ada, perlu dijelaskan bahwa Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur merupakan khalifah yang mendasarkan syariat Islam sebagai dasar pemerintahannya. Akan tetapi khalifah tidak begitu konsisten dan dalam hal-hal tertentu, mempunyai pandangan yang sepertinya tidak menurut ketentuan-ketentuan Islam. Khalifah yang seperti ini saja oleh Abu Hanifah telah ditentang sedemikian rupa, apalagi terhadap sistem kekhalifahan yang tidak menggunakan ketentuan-ketentuan Islam sebagai dasarnya, tentunya penentangannya akan jauh lebih keras. Kriteria ini saya angkat sehubungan dengan kesalahpahaman orang-orang tentang hubungan ulama dengan pemerintahan tanpa lebih dahulu memahami kedudukan pemerintahan yang ada, apakah mereka menggunakan ketentuan-ketentuan Islam sebagai dasar atau yang selainnya. Saya tidak menutup pemahaman tentang kebolehan ulama bekerja pada pemerintahan yang ada, selama dasar dan aktivitas-aktivitas yang ada mengajak untuk bertakwa kepada Allah dan mengikuti jejak rasul-Nya. Seperti, misalnya, pada masa pemerintahan Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya.
Apabila suatu umara’ yang tidak menjadikan ketentuan-ketentuan Allah menjadi sendi-sendi kehidupan, maka tidak ada kerja sama lagi antara ulama dan umara’. Kerja sama itu hanya menciptakan kelestarian kekafiran saja. Sedangkan orang-orang yang membolehkan kerja sama dengan umara’ dengan dalil adanya para ulama yang saleh bekerja pada umara’. Menurut pendapat saya, mereka hanya melihat ulama saleh bekerja pada pemerintahan, akan tetapi mereka tidak melihat sistem yang digunakan pada pemerintahan tersebut. Ulama saleh yang mau bekerja dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar pada suatu pemerintahan dikarenakan dasar yang digunakan membangun masyarakatnya adalah dasar Islam. Saya percaya andaikata dasar yang digunakan pada pemerintahan itu bukan Islam niscaya tidak akan mau bekerja pada pemerintahan yang seperti itu.
Tinjauan Para Ulama yang Masyhur Kesalehan dan Kealimannya

Tinjauan Imam Al-Ghazali
Imam Ghazali membagi ulama ke dalam tiga kriteria. Pembagian ini termaktub dalam kitabnya yang berjudul Al-Imlaa’, yaitu:
Ulama Hujjah,
Ulama Hajjaj, dan
Ulama Mahjuj
Ulama Hujjah ialah ulama yang alim mengerti benar tentang Allah dan mengerti benar tentang perintah dan larangan, serta berupaya untuk mengalamiahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ulama ini tidak gila harta, amat khusyu’ dan tawadhu’, selalu menjaga diri dari perbuatan yang kurang bermanfaat. Mereka juga sangat wara’ dan tidak serampangan dalam menetapkan hukum.
Ulama Hajjaj ialah ulama yang selalu siap sedia menegakkan alasan yang kokoh dalam masalah hukum-hukum keagamaan dan dalam memadamkan api bid’ah. Ulama ini selalu membisukan para tukang bicara dan mendiamkan para tukang membuat kedustaan dalam agama. Karena segala alasan yang dikemukan amat jelas, gamblang dan sangat hebat hafalannya, maka orang yang bertentangan sulit untuk membantahnya.
Ulama yang ketiga ialah ulama Mahjuj, ulama ini mengerti hukum-hukum Allah dan rasul-Nya, tentang perintah dan larangan-Nya, dan tentang ayat-ayat-Nya. Tetapi ulama ini tidak mau takwa kepada Allah, amat tamak kepada harta dunia, sehingga jauh dari keberkahan ilmunya, amat cinta kedudukan dan ketinggian pangkat, serta takut kalau jatuh dari kedudukannya yang telah dijabatnya. Perangai ulama ini sangat tidak menghargai nikmat-nikmat Allah, tidak ada rasa hormat dan menghargai terhadap kekasih Allah, suka bersahabat dengan orang-orang bodoh yang jahil tentang agama Allah. Maka hidupnya dikelilingi dan berkerumun dengan orang-orang yang tidak mengerti agama dan tidak taat kepada Allah. Ia merasa megah dan bangga bila bertemu dengan raja atau penguasa, busung dadanya bila berdampingan dan bergandengan dengan raja atau pembesar negara atau kepala para pembesar negara lainnya seperti hakimnya, menterinya dan ajudan-ajudan raja. Itulah ulama mahjuj yang membinasakan dirinya sendiri dengan menerjunkan dirinya ke dalam urusan yang dilarang Allah. Ia tidak mendapat manfaatnya dari ilmunya, lagi pula ia dapat membinasakan orang lain yang menjadi pengikutnya.

Tinjauan Sayid Jamaluddin Al-Afghani
Menurut Sayid Jamaluddin Al-Afghani, ulama adalah pusaka para yang sanggup berjuang menegakkan cita-cita. Sanggup berkata: “hentikan kelalimanmu!” dihadapan raja. Ulama harus sadar bahwa kedudukannya adalah pemimpin umat, keadaan umat sangat tergantung kepadanya, bukan membujuk umat supaya takluk kepada pihak kekuasaan. Ulama harus insyaf bahwa pihak kekuasaan adalah penguasa lahiriah, sedangkan ulama adalah penguasa batin yang menentukan nasib umat. Ulama harus tegak ditengah umat, bukan bertahta diatas mahligai gading.

Tinjauan Sayid Muhammad Rasyid Ridha
Sayid Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa sesungguhnya tidak ada kebiasaan yang lebih berbahaya bagi agama dan lebih menyia-nyiakan Al-Qur’an dan melemparkan Al-Qur’an ke belakang panggung serta menukarnya dengan harga yang sedikit daripada menjadikan rejeki para ulama dan kedudukan mereka ditangan para pemegang pemerintahan. Katanya,
Saya tidak habis mengerti, jika ilmu dan penghidupan para ulama itu sudah ditangan kekuasaan para penguasa, tentulah dapat dipastikan akan menjadi rantai emas yang membelenggu leher fatwa para ulama, kemudian para penguasa itu menuntun rakyat dengan perantaraan fatwa para ulama. Oleh karena itu hendaklah para ulama bertindak bebas dari segala pengaruh yang akan menjadikan para ulama itu menggantungkan penghidupannya ditangan penguasa, sehingga dengan terpaksa ulama kemudian memutarbalikkan kebenaran agama sesuai yang dikehendaki penguasa.
Sesungguhnya para salaf dahulu melarikan diri dari duduk disamping raja. Mereka tidak suka duduk disamping penguasa yang berbuat aniaya. Mereka bergegas melarikan diri dari keadaan yang demikian, melebihi daripada larinya dari gigitan ular dan kalajengking yang berbisa, hal itu karena para ulama salaf menyadari akan bahaya atas mereka bila mereka telah mempunyai kedudukan disisi raja yang zalim.

Tinjauan Prof. Dr. Abdul Qodir Audah
Beliau adalah seorang mujahid Islam yang menemui syahidnya diatas tiang gantungan oleh rejim Jamal Abdul Nasser. Beliau menyatakan didalam bukunya yang berjudul Al Islamu baina jahli abnaihi wa Azji Ulama’ihi, bahwa: “Al-Islam dan umat Islam akan dapat hancur dengan sebab perbuatan ulama yang tidak bertanggung jawab dan akibat ulama yang berdiam diri terhadap kebodohan umat.
Pendapat dan pandangan beliau tentang ulama dan tanggung jawabnya terhadap Al-Islam dan umat Islam ialah para ulama Islam memikul dosa dari bencana yang menimpa umat Islam, dosa kaum penjajah dan dosa dari akibat umat yang dalam keadaan terjajah, dosa pemangku hukum serta pemerintah, dosa rakyat yang tidak mengetahui Islam dan memikul dosa orang-orang yang menentang Islam. Sebabnya karena para ulama bungkam melihat dan menyaksikan umat dijajah, bungkam menyaksikan umat Islam tidak mengetahui hukum-hukum Islam dan berdiam diri melihat tujuan-tujuan Islam diabaikan. Para ulama tidak menerangkan hukum Islam tentang penjajahan dan tidak menjelaskan bagaimana hukumnya pemerintah yang membantu kaum penjajah, sehingga Islam tersia-sia akibat dari bungkamnya ulama itu. Dengan demikian maka para ulama itu “memberikan tabir” antara umat Islam dengan agama Islam. Ulama yang tidur untuk melalaikan usaha menegakkan Islam, tentulah umat yang ada dibelakang para ulama itu juga ikut pula tertidur.
Ulama-ulama tidur dari usaha menegakkan Islam dari masa yang cukup lama mereka tidak pernah menghantam serangkaian undang-undang dari kumpulan positif yang bertentangan dengan hukum Islam dan bahkan mencoba hendak membekukan suatu peraturan yang berlawanan dengan peraturan-peraturannya. Mereka tidak pernah mengajukan tuntutan supaya kembali kepada hukum-hukum Islam. Apabila para pemangku hukum sudah banyak melakukan kezaliman, menghalalkan larangan-larangan Allah, menumpahkan darah, meruntuhkan kehormatan diri, memperbuat berbagai macam kerusakan dan melanggar batas-batas hukum Allah. Tetapi para ulama tidak bangkit bergerak dan tidak marah terhadap penghalalan larangan-larangan agama. Seolah-olah Islam tidak meminta sesuatu apapun dari mereka, tidak melakukan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan seolah-olah tidak mewajibkan mereka menasehati pemangku-pemangku hukum agar kembali kepada hukum Islam. Amat disesalkan karena para ulama itu sendiri bahkan menolong para pelanggar hukum.  Kelangsungan hukum-hukum positif yang bertentangan dengan hukum Islam mengakibatkan tersudutnya pelaksanaan hukum Islam. Suatu hal yang menyedihkan, apa yang dilakukan para ulama dianggap oleh masyarakat Islam sebagai Islam yang sejati, sehingga semakin kuatlah posisi kezaliman yang sudah dianggap sebagai kebenaran.

Tinjauan Umar Hasyim
Umar Hasyim membagi ulama su’ ada lima macam yaitu :
Ulama yang memberi fatwa sesat,
Ulama yang membangun dinding fanatisme,
Ulama yang penyebar fitnah,
Ulama penjilat, dan
Ulama yang rusak moralnya.
Ulama pemberi fatwa sesat ialah ulama yang lebih mementingkan kebutuhan pribadinya, sehingga mereka menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu disampaikan, menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu disampaikan, menyembunyikan sesuatu yang seharusnya disampaikan, yang benar dikatakan salah, yang salah dikatakan sebagai kebenaran, mereka membolak-balikkan masalah yang primer dan sekunder.
Ulama yang membangun dinding fanatisme ialah ulama yang memberikan fatwa-fatwa tentang masalah kebenaran dan kebatilan tidak melewati tinjauan yang Islami, obyektif dan universal. Standar kebenaran dan kesalahan diletakkan pada kelompok-kelompok tertentu atau pada figur-figur personal. Ciri khas ulama seperti ini seruan tidak kepada Islamnya melainkan kepada golongannya, orang lain yang bukan golongannya sepertinya bukan orang Islam. Apabila Islam diejek oleh orang-orang kafir mereka tidak tersinggung, akan tetapi apabila yang disinggung itu golongannya mereka mempertahankan dan mengadakan pembelaan mati-matian.
Ulama penyebar fitnah ialah ulama yang mengada-adakan hukum atau permasalahan untuk membuat keresahan umat dengan tujuan-tujuan yang tidak baik. Fitnah yang disebarkan banyak didasari oleh rasa fanatisme ashobiyah serta rasa kedengkian terhadap paham yang dipandang menjadi saingannya. Fitnah para ulama ini banyak terjadi pada saat pemilihan umum. Ulama-ulama yang terdapat pada masing-masing golongan saling membaikkan golongannya sendiri dan menjatuhkan para ulama yang terdapat pada golongan lain, bahkan pada pemilu tahun 1987 saat Nahdhatul Ulama mengeluarkan khitahnya untuk meninggalkan partai politik, dengan dipelopori oleh Abdurrahman Wahid melakukan kampanye untuk menyerukan umat Islam di Indonesia agar tidak memilih PPP, secara implisit mereka menyeru umat Islam untuk memilih Golkar, yang kemudian Abdurrahman Wahid sendiri memasuki keanggotaan MPR dari Fraksi Karya Pembangunan.
Untuk mengetahui suatu fatwa yang berisi fitnah atau yang berisi amar ma’ruf dapat diketahui dari persoalan yang diangkat; kalau sifatnya hanya pada hal-hal yang berkenaan dengan golongan, kedudukan dan kecemburuan sosial dapat dipastikan bahwa fatwa yang dikemukakan mengandung nilai fitnah, apabila persoalan yang diangkatnya berkenaan dengan nilai-nilai benar dan salah, akibat-akibat positif dan negatif yang jauh dari masalah golongan dan kedudukan hampir dapat dipastikan fatwa-fatwa yang dikeluarkan berkenaan dengan masalah itu mengandung nilai amar ma’ruf nahi munkar.
Standar fitnah ini kalau dikasuskan sangat sulit penetapannya, semua orang mempunyai hak untuk menetapkan orang lain sebagai pemfitnah dengan standar yang dibuatnya sendiri. Maka untuk memudahkan pemisahan antara fatwa yang berisi fitnah dan amar ma’ruf dapat diukur obyektifitas standarnya dan kebenaran peristiwa yang diangkatnya serta tujuan pengangkatan masalah tersebut. Apabila semuanya berkualitas obyektif maka dapat dikatakan sebagai amar ma’ruf, apabila sebaliknya maka dapat dikatakan sebagai fitnah.
Ulama tukang jilat ialah ulama yang suka membesar-besarkan dirinya atau kelompoknya yang menjelek-jelekkan kelompok lainnya kepada penguasa dengan tujuan untuk mendapatkan berbagai fasilitas. Sekarang ini saya sering mendengar berbagai organisasi yang memuji-muji kepada penguasa dengan tujuan untuk mendapatkan kedudukan atau fasilitas tertentu. Pada zaman Orde Lama tidak sedikit ulama yang membesar-besarkan Bung Karno. Bahkan Universitas Muhammadiyah telah memberikan gelar Doktor Honoris Causa bidang Tauhid kepadanya. Sedangkan partai NU memberikan gelar Wali al-Amri Dharuri bi al-Syawkah, yang arti harfiyahnya ialah pelindung atau orang yang bertugas mengurusi.
Pada masa Orde Baru setelah asas tunggal yang diberangkatkan lewat UU No. 8 tahun 1985 diundangkan, antara NU dan Muhammadiyah saling menunjukkan perannya bahwa mereka adalah yang paling dominan mengoalkan program asas tunggal. NU mengatakan bahwa mereka telah melakukan perubahan asasnya pada Anggaran Dasarnya menjadi Pancasila sebelum UU tersebut diundangkan. Kemudian Muhammadiyah mengatakan bahwa mereka mempunyai andil 80% atas UU No. 8 tahun 1985, bahwa keterlibatan Muhammadiyah dalam proses pembuatan UU tersebut jauh sebelum UU tersebut diundangkan.
Kemudian menyusul kelompok Hidayatullah, yang dipimpin oleh Abdullah Said. Pada buletin informasi Pondok Pesantren Hidayatullah Edisi no. 17 yang cover depannya berjudul Dampak Teknologi, Abdullah Said menyatakan: “kami di Pondok Pesantren Hidayatullah merasa berbahagia umat Islam memiliki negara yang berdasarkan Pancasila”.
Secara implisit Al-Qur’an telah mensinyalir sifat ulama-ulama penjilat. Apabila umat Islam menang, mereka mengatakan, “kemenangan ini karena jerih payah kami”. Apabila umat Islam mengalami kekalahan mereka mengatakan sebab kekalahan dari orang-orang yang terburu-buru dalam perang dan mereka tidak segan melakukan kekufuran. (QS al-Hajj [22] ayat 11)
Ulama yang rusak moralnya ialah ulama yang sering melakukan kemaksiatan akibat tidak kuasa menahan hawa nafsunya. Ulama model ini biasanya latar belakang keilmuannya hanya didapatkan karena kondisi atau permintaan orang tua, prinsip keilmuannya hanya sebagai keilmuan belaka. Mereka tidak berupaya mengamaliahkan ilmunya, sehingga mereka sangat mudah melakukan kedustaan, fitnah, korupsi, mengganggu wanita, melacurkan diri, memakan yang haram. Sisi lain yang mengakibatkan kerusakan moral ulama ialah pengaruh kedudukan duniawi dan takut meniti kehidupan sengsara dalam menegakkan kalimatullah.

Menurut Tinjauan Sejarah
Banyak sekali perjalanan perjuangan umat Islam diwarnai oleh ulama-ulama su’, bahkan pada zaman Nabi Muhammad sendiri pun tidak sedikit orang-orang yang tahu ilmu melakukan tindakan kezaliman. Kita bisa melihat kasus perang Ahzab, perang Tabuk, dimana tidak sedikit umat Islam yang meninggalkan diri dari kancah perjuangan. Pada Perang Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar, pada Perang Diponegoro, dan masih banyak sekali perjalanan perjuangan umat Islam yang dikotori oleh ulama-ulama su’ yang tidak saya tulis disini, akan tetapi bisa disampaikan pada ruangan ini.

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ulama warisatul anbiya ialah ulama yang keilmuan, akhlak individu, akhlak sosial dan prinsip kehidupan dan perjuangannya sama seperti yang telah dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sebaliknya ulama su’ ialah ulama yang ilmu dan akhlaknya serta prinsip kehidupan dan perjuangannya kontradiksi dengan apa yang telah diteladankan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Evaluasi Lingkungan
Dengan rumusan tersebut diatas, insya Allah dapat menjadi landasan membuat penilaian terhadap para ulama-ulama yang berada disekitar kita. Saya kira kurang bijaksana, andaikata disini disebutkan siapa-siapa yang memiliki kelayakan untuk ditempatkan sebagai ulama warisatul anbiya dan ulama su’. Tetapi saya harapkan umat Islam memiliki kepekaan dan penetapan penilaian terhadap ulama yang ada disekelilingi kita, sehingga dapat memberikan kepastian sikap.

Sikap Pemikiran dan Sikap Perilaku terhadap Ulama Positif dan Ulama Negatif
Kita semua sudah mengetahui ulama yang warisatul anbiya memiliki tugas yang berat. Beliau memerlukan pengetahuan yang tinggi untuk menjawab segala problematika umat. Beliau juga bertanggungjawab terhadap istri dan anak-anaknya. Disamping itu kita semua sadar bahwa beliau adalah pelita masyarakat, tanpa beliau niscaya dunia etika pada masyarakat akan menjadi gelap, sisi lain yang kadang-kadang terjadi beliau harus berhadapan dengan para penguasa yang zalim. Akibatnya tidak jarang beliau merasakan penderitaan di penjara atau di hukum gantung, sedangkan anak istrinya juga ikut merasakan penderitaannya. Orang-orang ilmuwan yang tidak memiliki kesadaran tinggi dan ketabahan yang luar biasa sulit untuk dapat menjadi ulama pewaris para nabi. Keberanian, kesengsaraan, dan penderitaan seperti itulah yang membawa ulama meninggalkan misinya, bahkan tidak segan-segan menjadi ulama yang mengikuti kemauan musuh. Sedikit sekali ulama yang mengikuti jejak rasul-rasul Allah. Oleh karena itu seharusnya masyarakat juga memahami keadaan mereka dan bertanggung jawab terhadap eksistensi mereka, tanpa mereka masyarakat juga ikut merasakan kerugian.
Secara penanganan yang ideal tentunya diiringi dengan kemampuan masyarakat Islam yang ada. Seharusnya ulama yang berbakat dan memiliki potensi menjadi pewaris misi rasul tidak diperkenankan bekerja, seluruh kebutuhan mereka ditanggung oleh umat Islam, dengan demikian beliau dapat berkonsentrasi terhadap ilmunya. Kualitas keilmuan yang dimiliki oleh ulama sangat besar pengaruhnya untuk menciptakan hasil kerja yang ideal. Bagaimanapun tingginya keberanian ulama menghadapi tantangan dan penderitaan apabila tidak didukung pengetahuan yang memadai pasti akan menghasilkan kehancuran.
Ulama yang menggunakan waktunya untuk bekerja atau masih memikirkan keadaan anak istrinya, maka kualitas keilmuan mereka tidak akan bisa maju. Apabila mereka menggunakan waktu kerjanya 8 jam dalam sehari untuk kepentingan keluarganya, berarti selama 10 hari dalam sebulan (30 x 8 = 240 jam = 10 hari) mereka harus meninggalkan ilmunya. Alangkah bermanfaat seandainya mereka bisa berkonsentrasi secara penuh. Bagi orang yang terbiasa melihat keberhasilan-keberhasilan segala profesi yang ada baik berkenaan dengan masalah ilmu pengetahuan, olah raga atau kesenian, akan memiliki kesimpulan bahwa landasan keberhasilan suatu kerja banyak ditentukan oleh banyaknya konsentrasi dan latihan.
Dalam situasi dan kondisi dimana logika sudah sedemikian tingginya, masih juga saya jumpai kekeliruan pandangan umat Islam terhadap ulama alam soal pemberian fasilitas. Mereka sangat tidak setuju terhadap ulama yang tidak bekerja dan ulama yang menerima uang jasa setelah memberi ceramah, misalnya. Mereka mendudukkan ulama yang begitu adalah ulama yang menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Pernah saya memberi penjelasan terhadap seorang ikhwan yang masih berpandangan seperti itu dengan penjelasan diatas, alhamdulillah ia akhirnya menyatakan penyesalannya, dan menjadi orang yang getol membantu ulama warisatul anbiya yang tidak memiliki pekerjaan karena menyampaikan ayat-ayat Allah.
Kadang-kadang saya juga tidak menyalahkan kekecewaan umat Islam terhadap ulamanya yang kurang bisa menempatkan diri. Bantuan-bantuan umat Islam yang disampaikan kepadanya telah membuatnya lupa kepada tugasnya, ia sudah meninggalkan kehidupan yang sederhana, menuju kepada kehidupan yang berlebihan, sepertinya ia tidak mempunyai kewajiban untuk memberi, akan tetapi ia sepertinya memiliki hak untuk menerima, umat Islam berkewajiban untuk memberi kepadanya. Pernah saya menerima bantuan material kepada seorang ulama yang cukup kaya, yang mana rumahnya mewah dan memiliki mobil. Dorongan yang membuat saya meminta bantuan pada beliau karena memiliki kekayaan dan beliau juga seorang ulama. Dua potensi tersebut akan memberi jalan keluar terhadap kesulitan yang kami hadapi secara total. Tanpa diduga beliau mengatakan: “saya ini seorang ulama, saya hanya bisa memberikan pengetahuan. Semoga adik memahami”. Dengan rasa kecewa saya pulang dengan tangan hampa. Di benak saya terpikir apakah ulama itu bebas dari infak? Disini saya menyadari jauhnya umat Islam dengan ulamanya yang kadang-kadang disebabkan oleh tindakan ulamanya yang tidak kuasa membendung hawa nafsunya. Barangkali kondisi inilah yang menyebabkan Allah melarang para utusannya untuk mengambil barang zakat. Keseimbangan nilai ideal antara ulama dengan umatnya tidak bisa dilepaskan untuk menciptakan keharmonisan dan kesuksesan kerja diantara mereka.
Sedangkan sikap umat Islam terhadap ulama su’, secara tegas telah diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya, bahwa mereka harus dijauhi, khususnya pada ulama Islam yang masih awam. Hikmah larangan tersebut ada dua macam, yakni: 1) umat Islam akan terhindar dari ajaran-ajaran yang menyesatkan, dan 2) untuk membendung popularitas mereka, dengan hilangnya popularitas mereka akan menjauhkan umat Islam dari ajaran mereka. Sikap yang lebih efektif ialah memberikan kesadaran umat Islam tentang adanya ulama su’ dan ulama warisatul anbiya’.

Cara-cara Penguasa Kafir dalam Memainkan Peranan Ulama untuk Menunjang Kekafiran lewat Pendekatan Sejarah
Sistem pemerintahan feodal membagi sistem kekuatan masyarakat menjadi tiga landasan yaitu: masyarakat buruh, masyarakat agama dan militer. Untuk melumpuhkan masyarakat buruh harus diciptakan kelompok elit yang membawahi seluruh kegiatan perburuhan pada susunan masyarakat yang ada, jadi untuk mempengaruhi kondisi kaum buruh, mereka cukup mempengaruhi kelompok elitnya. Demikian juga cara untuk mempengaruhi atau menundukkan masyarakat agama harus dibentuk kelompok agamawan atau ulama yang dapat membantu kehendak pemerintah. Jadi untuk mengatur masyarakat agama, pemerintah hanya tinggal memerintahkan ulama yang sudah dijinakkan. Demikian pula terhadap militernya. Pada bagian ini saya tidak membahas secara detil tentang masalah diatas, hanya sekedar memberi input saja akan adanya sistem yang semacam itu. Oleh negara-negara berkembang sistem feodal tersebut banyak digunakan.

TAMBAHAN
Pada bagian ini akan dibahas beberapa hal untuk lebih memperjelas pembahasan yang telah dipaparkan bagian-bagian sebelum ini. Seksi tambahan mencakup pembahasan:
Hakikat dan Cabang-cabang Ilmu Pengetahuan
Hubungan dan kegunaan ilmu pengetahuan bagi manusia
Menentukan kadar potensial ilmu pengetahuan bagi pribadi
Cara mendalami ilmu pengetahuan dengan tepat, dan
Tanggung jawab ilmuwan terhadap ilmunya melewati pendekatan kemanusiaan

Hakekat dan Cabang-cabang Ilmu Pengetahuan
Seperti yang telah dijelaskan pada topik hakikat berpikir, ilmu pengetahuan adalah produk dari suatu pemikiran terhadap realitas. Realitas itu terdiri dari manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, alam bebatuan (bumi), alam jin dan Ketuhanan. Dari alam-alam yang besar tersebut ternyata banyak sekali bagian-bagian yang lain. Misalnya pada alam bumi, didalamnya ternyata ada barang-barang mineral yang banyak sekali yang satu sama lain memiliki hubungan yang sangat kompleks. Dari realitas tersebut kita dapat melihat banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang ada dalam rangka memudahkan pemahaman. Banyaknya cabang-cabang tersebut dapat dilihat pada pembagian ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh manusia. Sebagai tambahan, tentunya masih banyak ilmu pengetahuan yang belum diketahui oleh manusia.

Hubungan dan Kegunaan Ilmu Pengetahuan bagi Manusia
Manusia tidak sama dengan ilmu pengetahuan. Manusia bagi ilmu pengetahuan merupakan suatu subyek yang sumbernya adalah nafs sedangkan ilmu pengetahuan sebagai obyek. Namun demikian secara sosial, hubungan kemasyarakatan subyek yang terdapat pada manusia tersebut merupakan obyek bagi yang lainnya. Ilmu pengetahuan secara tepat akan melahirkan kebahagiaan bagi kehidupan umat manusia, sebaliknya apabila digunakan secara tidak tepat akan mengakibatkan kehancuran umat manusia. Ilmu pengetahuan ibarat sebuah senjata sakti yang apabila jatuh ke tangan orang jahat akan melahirkan kehancuran umat, akan tetapi apabila jatuh ke tangan orang yang saleh akan membawa kesejahteraan umat,. Demikian juga bagi mereka yang tidak berilmu, akan mendapatkan akibat negatif. Orang yang tidak memiliki pengetahuan mesin, pengetahuan etika, pengetahuan ketuhanan, pengetahuan-pengetahuan yang ada, maka mereka akan menerima akibat dari ketidak-tahuannya tersebut.

Menentukan Kadar Potensial Ilmu Pengetahuan bagi Pribadi
Untuk menentukan kadar potensial ilmu pengetahuan diperlukan adanya standar obyektif yang berdasarkan pada sifat-sifat dasar kemanusiaan secara umum. Manusia adalah makhluk yang mendambakan kebahagiaan dan berlari dari hal-hal yang membawa kepada penderitaan. Jadi untuk mengatur kadar potensial ilmu pengetahuan, saya bersandar sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut berguna untuk kebahagiaan umat manusia, semakin tinggi nilai atau potensi ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan umat manusia, maka semakin tinggi pula kadar potensialnya.
Sadar akan kebutuhan umat manusia yang tidak sama pada perjalanan waktu dan pada kondisi biologis (perkembangan usia) maupun sosiologis maka kebutuhan manusia terhadap sesuatu ilmu pengetahuan juga tidak sama. Grafiknya seharusnya turun naik, sesuai dengan kondisi obyektif. Kalau kita secara tarik garis besar, pada dasarnya ada dua kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan, yaitu yang bernilai primer dan bernilai sekunder. Ilmu pengetahuan yang bernilai primer ialah ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan penunjang kehidupan, pemberi kebahagiaan secara maksimal dan apabila tidak dimiliki akan mengakibatkan kematian dan penderitaan secara maksimal. Sedangkan ilmu pengetahuan yang tidak berkaitan dengan kehidupan manusia dan tidak mempunyai arti yang besar pada kebahagiaan manusia, merupakan ilmu pengetahuan yang bernilai sekunder, ilmu yang sejenis ini apabila tidak dimiliki secara fatal dan berkepanjangan. Menurut pandangan penulis ilmu-ilmu yang primer pada bidang dasar itu meliputi ilmu Logika, Ketuhanan dan Etika. Sedangkan ilmu-ilmu primer pada bidang pengembangan ialah Ilmu Sosial, Ilmu Politik, Teknologi Senjata dan Ekonomi. Ilmu-ilmu yang lainnya saya tempatkan pada bidang sekunder. Dalam istilah hadits, ilmu pengetahuan yang berisi din dan waro’it merupakan kewajiban bagi manusia untuk memilikinya sedangkan yang lainnya merupakan keutamaan.
Manusia merupakan bagian dari masyarakat, apabila tidak mengetahui ilmu primer pada bidang dasar akan dapat menghancurkan tatanan masyarakat secara makro dan kehancuran itu harus berlangsung dari generasi ke generasi selanjutnya. Mereka terus saling mewarisi kehancuran tersebut. Sedangkan mereka di akhirat akan termasuk orang-orang yang menderita di neraka Jahannam sepanjang masa. Adapun orang-orang yang tidak mengetahui ilmu-ilmu primer pada bidang pengembangan, tidak akan mampu membangun konstruksi masyarakat yang baik dan hidupnya akan terus terjajah oleh setan yang memiliki teknologi senjata yang canggih. Machiavelli dalam bukunya Il Principe (Sang Penguasa), menyatakan bahwa hanya nabi-nabi yang memiliki senjata saja yang menghancurkan kekuasaan orang kafir, sedangkan nabi-nabi yang tidak memiliki senjata telah dihancurkan oleh orang-orang kafir.

Cara Mendalami Ilmu Pengetahuan dengan Tepat
Dari uraian diatas, secara umum atau secara teoritis, dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan memiliki nilai primer dan nilai sekunder. Akan tetapi secara praktis tidak semudah pelaksanaan seperti pada kondisi teoritis karena pada dunia praktis terikat oleh kondisi lingkungan. Unruk melaksanakan pendalaman ilmu pengetahuan secara tepat pada kondisi tertentu idealnya memahami dulu kondisi obyektif padanya.
Pada abad modern saat ini, dimana sarana kehidupan sudah menggunakan ilmu pengetahuan dan peralatan yang modern, seluruh penghuni abad ini berpacu untuk memenuhi tuntutan zamannya, mereka yang ketinggalan akan terkucil dan tidak akan mampu berkomunikasi terhadap lingkungannya. Bagi generasi pelajar Islam saat ini harus bekerja keras, karena di samping mempelajari ilmu-ilmu pengembangan teknologi yang bersifat primer, sebagai orang muslim juga diwajibkan untuk mendalami ilmu-ilmu dasar yang bernilai primer yang terdiri dari Ilmu Ketuhanan baik dari Islam maupun yang bersifat umum.
Dari tinjauan politis, tidak jarang dijumpai lahan-lahan pekerjaan yang merupakan saluran dan pengembangan bagi pendidikan, dijadikan ajang atau kesempatan politik. Hal ini mengakibatkan banyak sekali umat Islam yang masih teguh pada agamanya rela untuk meninggalkan pekerjaannya demi memelihara imannya. Dari tinjauan realitas, pendidikan pun tidak lepas dari jangkauan-jangkauan politik, maka bagi masyarakat yang tidak sesuai dengan politik penguasa akan terkucil dari dunia pendidikan, ekonomi dan politik secara formal. Faktor-faktor inilah yang kadang-kadang tidak disadari oleh mata Islam, akibatnya terjadi pergeseran nilai potensial dari suatu keilmuan yang ada perkembangannya terjadi kebalikan secara drastis. Keilmuan yang bersifat primer akan menjadi sekunder dan sebaliknya yang sebenarnya sekunder akan menjadi primer.
Dari sisi kemanusiaannya manusia, manusia adalah makhluk yang terbatas. Secara ideal manusia tidak akan mampu mengatasi segala problematika dengan dasar ilmu pengetahuan yang profesional secara sendiri. Sedangkan secara agamis manusia adalah makhluk yang membawa misi Ketuhanan yang tidak bisa ditinggalkan.
Melihat kondisi-kondisi obyektif diatas, maka menurut pendapat penulis, cara mendalami ilmu pengetahuan yang tepat pada kondisi masyarakat sekarang ialah wajib memahami ilmu-ilmu primer pada bidang dasar. Pemahaman ini merupakan keharusan yang tidak bisa ditinggalkan, karena dampaknya bagi yang tidak mengetahui sangat besar, khususnya yang berakibat keakhiratan atau Jahannam. Kadar potensial waktunya yang diberikan, pemusatan perhatiannya dalam kondisi tertentu tidak dapat dikalahkan oleh kepentingan ilmu pengetahuan lainnya, khususnya yang dapat mengakibatkan terlepasnya ilmu pengetahuan dasar yang bersifat primer, kecuali hanya sekedar penundaan saja atau pembagian waktu dengan kegiatan-kegiatan lainnya.
Untuk penguasaan terhadap ilmu tersebut, kita harus memiliki kecintaan dan militansi yang tinggi. Secara semboyan dapat ditempatkan sebagai syarat kehidupan, bahkan lebih tinggi dari hidup itu sendiri, sebab hidup dan kehidupan yang sesat akibat penderitaannya yang dirasakan sangat luar biasa. Orang seperti itu akan mengatakan lebih enak dulunya tidak ada atau menjadi tanah. Oleh karena itu, tempat, waktu, jarak dan biaya tidak dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bidang dasar. Sebenarnya sejarah telah mengajarkan kepada kita bagaimana orang-orang terdahulu telah berkorban demi mendapatkan ilmu Ketuhanan.
Selanjutnya dapat beralih kepada ilmu-ilmu yang selainnya, khususnya ialah ilmu-ilmu pengetahuan yang dapat menunjang penerapan dan penunjang ilmu pengetahuan dasar, yang mana pada paragraf diatas telah disebutkan bahwa pengetahuan itu meliputi, bidang sosial politik, teknologi senjata dan ekonomi serta metodologi pendidikan. Mengingat kondisi kekuasaan negara Republik Indonesia tidak berdasarkan Islam, tidak jarang dijumpai kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang politik, pendidikan dan ekonomi bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini mengakibatkan penerapan-penerapan pada bidang-bidang keilmuan diatas tidak dapat dilaksanakan oleh umat Islam. Oleh karena itu sebaiknya pemahaman keilmuan pada bidang pengembangan dasar yang hubungan pengembangan atau penerapannya hanya memiliki satu alternatif yaitu pada birokrasi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Atau setidak-tidaknya umat Islam mempunyai pandangan kemandirian didalam bidang pendidikan dan ekonomi, sehingga ilmu yang dipelajari bukan untuk dijual kepada orang lain atau istilah umumnya mempelajari ilmu untuk menjadi pegawai, melainkan mempelajari keilmuan untuk diamalkan secara mandiri.

Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Ilmunya Melewati Pendekatan Kemanusiaan

Suatu ilmu yang bermanfaat untuk manusia ialah ilmu pengetahuan yang sudah dilaksanakan atau diamaliahkan, tidak ada artinya ilmu tanpa penerapan. Didalam agama Islam pertanggungjawaban ilmuwan terhadap ilmunya sangat ditekankan, bahkan menjadi kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, karena umat manusia akan mengalami kegelapan tanpa adanya sinar ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sangat tidak manusiawi, bila seorang ilmuwan membiarkan umat manusia yang dahaga ilmu pengetahuan itu menderita oleh panasnya kebodohan. Orang yang tidak mengamaliahkan ilmunya padahal mereka berilmu akan mendapatkan kemurkaan Allah. Pada surat Al-Jum’ah ayat 5 (QS 62:5) dikatakan sebagai keledai yang memikul kitab. Dalam surat Al-Maa’uun ayat 1-7 (107:1-7) dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama karena orang yang tahu ilmu pengetahuan agama, yang didalamnya ajarannya memerintahkan berbuat kebajikan sedangkan mereka melalaikan kebaikan tersebut. Pada surat Al-An’aam ayat 70, dikatakan sebagai orang yang bermain-main dan bersenda gurau dalam urusan agama. Pada surat al-Shaaf ayat 1-2, dikisahkan Allah sangat murka terhadap orang yang hanya pandai berbicara tetapi tidak melaksanakan apa yang dibicarakannya. Oleh karena itu bagi orang Islam yang sungguh-sungguh dalam agamanya, pasti dengan sekuat daya upayanya untuk mengamailahkan apa yang diperintah oleh Tuhannya sekalipun harus mengorbankan apa yang paling dicintai.

Sumber : A L - K A H F I\Produk Pemikiran AKF\materi sm1\2-Berfikir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar