Prospek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
NILAI ILMU PENGETAHUAN
Seperti nilai air
hujan
Abu Musa ra
berkata: Bersabda Nabi saw: “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diberikan oleh
Allah kepada saya bagaikan hujan yang turun ke tanah, maka sebagian ada tanah
yang subur, dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan serta rumput yang banyak sekali.
Dan ada pula tanah yang keras menahan air, sehingga berguna untuk minuman dan
penyiraman kebun tanaman dan ada beberapa tanah hanya keras kering tidak dapat
menahan air dan tidak pula menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Demikianlah contoh
orang yang pandai didalam agama Allah dan mempergunakan apa yang diberikan
Allah kepadaku lalu mengajar dan perumpamaan orang yang tidak dapat menerima
petunjuk Allah yang telah ditugaskan kepadaku.”
(HR.
Bukhari-Muslim, dikutip dari Riadhus Sholihin, Jilid II, hlm 315)
Abu Hurairah ra
berkata: Saya telah mendengar Rasulullah bersabda: “Jika mati seorang anak Adam
maka putuslah amal usahanya kecuali tiga: sedekah yang berjalan terus, ilmu
pengetahuan yang berguna, anak sholeh yang mendoakan baginya.”
(HR. Muslim,
dikutip dari Riadhus Sholihin, Jilid II, hlm 317)
Ali bin Abi Thalib
ra berkata:
Manusia ada 3
macam, seorang alim rabbani, seorang murid yang ingin selamat dan yang selain
itu rakyat jelata pengikut tiap suara seruan, condong mengikuti arah angin.
Juga ia berkata: Ilmu lebih baik dari harta, ilmu menjaga dirimu, sedangkan
kamu menjaga harta dan ilmu bertambah jika disiarkan sedangkan harta berkurang
jika dibelanjakan dan ulama itu akan tetap hidup selamanya meskipun jagadnya
tidak ada dan ajaran mereka selalu teringat dalam hati.
(dikutip dari
Tanbihul Ghofilin, Jilid II, hlm. 656)
Dalil-dalil lain:
Allah sendiri
dalam menunjukkan kebesarannya sering mengangkat perbedaan ilmu sebagai
pembanding dan pijakan penilaian akan suatu kebesaran. Sebagai contoh, ketika
Allah menunjukkan kebesaran dirinya dengan cara menunjukkan kebesaran ilmunya,
yang dikatakan tidak akan habis apabila ditulis dengan tinta sebanyak lautan,
bahkan bila ditambah sebanyak itu (Surat Al-Kahfi ayat 109). Pada surat
Al-Thalaq ayat 12, Allah memberitahukan bahwa ilmu Allah meliputi segala
sesuatu. Dan ilmu manusia sangat sedikit (Surat Al-Isra’ ayat 85)
Demikian
pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan dan perhatian Allah terhadap ilmu
dan orang-orang yang memiliki pengetahuan. Seorang ilmuwan Islam yang bernama
Husein Al-Habsyi pernah mengatakan bahwa, hanya ajaran Islamlah yang mewajibkan
pengikutnya untuk menuntut ilmu, sedangkan selain Islam sifatnya hanya sekedar
menganjurkan saja.
KEHARUSAN UMAT
ISLAM UNTUK MENUNTUT ILMU PENGETAHUAN
Banyak sekali
hadits yang memerintahkan kepada umat Islam untuk menuntut ilmu, dua
diantaranya ialah:
Carilah dunia
dengan ilmu dan akhirat dengan ilmu.
(Hadits ini
semakna dengan ayat jangan kami berbuat sesuatu yang tidak ada ilmunya dalam
17:36)
Tuntutlah ilmu
mulai dari ayunan sampai liang lahat.
Jaminan
orang-orang yang menuntut ilmu sangat besar sekali, baik didunia maupun
diakhirat.
Dalilnya antara
lain:
Abu Hurairah ra
berkata: Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang berjalan di suatu jalan untuk
menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim,
dikutip dari Riadhus Sholihin, Jilid II, hlm. 316)
Anas ra berkata:
Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang keluar menuntut ilmu maka ia berjuang fi
sabilillah hingga kembali.” (HR. al-Tirmidzi, dikutip dari Riadhus Sholihin,
Jilid II, hlm. 317)
Dari uraian diatas
semoga dapat memberi kesadaran kepada kita tentang arti dan nilai ilmu
pengetahuan, sehingga kita akan menjadi orang-orang yang menghargai dan
mencintai ilmu pengetahuan dan sekaligus dapat menjadi suatu motivator,
dorongan yang besar bagi kita semua untuk berjihad menuntut ilmu pengetahuan
dan bersiap menghadapi segala tantangan dan rintangan yang menghambat jalannya
ilmu pengetahuan.
CARA UNTUK
MENDAPATKAN ILMU PENGETAHUAN
Cara untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan ada dua macam, yaitu:
Berpikir, dan
Belajar pada ahli
ilmu pengetahuan.
Masing-masing cara
diuraikan sebagai berikut.
BERPIKIR
Potensi Berpikir
untuk Mendapatkan Ilmu Pengetahuan
Berpikir memiliki
peranan dan potensi yang besar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, hal ini
dapat dilihat pada sejarah penemuan-penemuan ilmu pengetahuan pada masa yang
lalu. Hukum gravitasi, hukum kekekalan energi, kecepatan cahaya, hukum
mekanisme alam, semua pengetahuan tersebut dapat diketahui dengan kemampuan
berpikir.
Karena demikian
besarnya peranan penggunaan pemikiran dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, maka
Allah sangat menekankan kepada hamba-hamba-Nya untuk berpikir. Berpikir
terhadap segala sesuatu, bahkan terhadap al-Qur’an itu sendiri juga masih jelas
dipikirkan, dan al-Qur’an sendiri juga menuntut untuk berpikir. Hal ini dapat
disaksikan pada firman Allah yang tertulis pada surat An-Nahl ayat 44, yang
artinya: Dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab,
Dan kami turunkan kepada al-Qur’an. Agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. Dari
ayat ini dapat diketahui bahwasanya al-Qur’an itu bukan ilmu pengetahuan yang
sudah jadi yang memperinci realitas yang ada, akan tetapi merupakan informasi
global yang masih perlu untuk dipikirkan. Apa sesungguhnya yang berada dibalik
informasi yang global tersebut? Betapapun kebesaran nilai-nilai kemutlakan yang
terdapat di dalam al-Qur’an namun
apabila tidak didukung dengan pemikiran yang benar, pemikiran yang profesional,
maka tidak akan dapat melahirkan suatu nilai yang besar, bahkan yang terjadi
adalah sebaliknya, secara tidak langsung akan mengotori al-Qur’an. Tidak
sedikit firman Allah yang menuntut kepada hamba-hamba-Nya untuk berpikir
mengenai kosmologi atau kejadian langit dan bumi (3:190). Berpikir mengenai
sejarah umat yang lalu, tentunya berkenaan dengan segala peradaban dan
kebudayaannya (12:109). Tentang kejadian manusia (96:2), berpikir tentang jiwa,
tentang nikmat Allah (30:50-51), tentang hari esok (59:18).
Disamping Allah
memerintahkan hamba-Nya untuk berpikir, Allah juga melarang hamba-Nya untuk
tidak menggunakan nikmat pemikiran, bahkan menempatkan mereka yang tidak
berpikir seperti binatang ternak dan kelak akan menjadi penghuni Jahannam
(7:179). Dalam surat Yunus ayat 100, Allah mengancam dengan kemurkaan, agar
mereka benar-benar memahami kebesaran Allah dengan ilmu pengetahuan (2:164).
Sehingga akan menjadi manusia yang takut kepada Allah (35:28) dan mampu untuk
memahami kandungan al-Qur’an (3:7). Orang-orang yang seperti ini akan
mengeluarkan derajat yang tinggi, baik didunia maupun diakhirat (58:11; 4:162).
HAKIKAT BERPIKIR
Didalam kitab-Nya,
Allah sering menasihati orang-orang yang zalim agar mereka:
Berpikir, dan
Menggunakan
pemikirannya.
Teguran Allah
tersebut sepertinya memberikan kesan bahwa orang-orang yang zalim itu tidak
berpikir dan tidak menggunakan pemikirannya. Benarkah mereka tidak berpikir dan
tidak menggunakan pemikirannya?
Kalau diperhatikan
dengan seksama tentang pemikiran, prinsip-prinsip tingkah laku dan tingkah laku
itu sendiri, dapat disimpulkan bahwa semua itu bertitik tolak dari suatu
pemikiran atau produk suatu pemikiran. Berpikir dan pemikiran merupakan suatu
proses alamiah yang senantiasa ada pada aktivitas manusia. Aqidah atheisme
itupun sebenarnya merupakan proses atau produk pemikiran.
Lalu apa yang
dimaksud dengan teguran Allah, yang menyatakan bahwa orang-orang kafir itu
tidak berpikir dan tidak menggunakan pemikirannya? Apakah Allah keliru
menempatkan istilah atau Allah tidak mengetahui hakikat pemikiran?
Maha Suci Allah
dari segala sifat kesalahan. Sesungguhnya yang dimaksud oleh Allah itu bukan
tidak berpikir atau tidak menggunakan pemikirannya, akan tetapi yang
dipersoalkan ialah mereka tidak menggunakan dasar-dasar berpikir secara logis,
mereka hanya asal berpikir, mereka mudah menyimpulkan sesuatu tanpa diiringi
dengan persyaratan-persyaratan yang alami.
Drs. Poespoprodjo
dalam bukunya Logika Scientifika, mengatakan bahwa:
“pikiran manusia
diikat oleh hakikat, sifat-sifat dan struktur-struktur tertentu, pikiran
manusia tunduk kepada hukum-hukum tertentu. Berpikir bukanlah aktivitas yang
bersahaja, berpikir adalah suatu aktivitas yang banyak seluk beluknya,
berlibat-libat, mencakup berbagai unsur dan langkah-langkah seperti misalnya
aprehensi sederhana atau pembentukan konsep, menyusun keputusan-keputusan,
meneliti atau memperhatikan asumsi atau implikasi pemikiran, menanggulangi
disonansi kognitif, menyelenggarakan pemikiran, menarik kesimpulan, gerak
intelek secara deduktif, induktif dan argumen kumulatif atau secara langsung
dan sebagainya. Semuanya itu sangat penting untuk dipahami, supaya dapat
diketahui mekanismenya sehingga melahirkan kepekaan, kesadaran mengontrol
jalannya suatu pemikiran.
Kelompok
fenomenologi eksistensialisme berpendapat, berpikir bukan pemikir punya
inisiatif, tetapi adalah membiarkan sesuatu menjadi nampak sebagaimana adanya,
tanpa memaksakan kategori-kategori kita sendiri pada sesuatu tersebut.
Kenyataannya pemegang inisiatif bukan kita yang menunjukkan kenyataan, tetapi
kenyataan itu sendiri yang menunjukkan dirinya kepada kita. Konsepsi tersebut
jelas suatu arah kebalikan dari yang biasa pada bentuk berpikir untuk menguasai
seperti berpikir membayangkan, berpikir menghitung, berpikir menjelaskan, yakni
bentuk-bentuk berpikir yang khas pada pemikiran ilmiah. Oleh karena itu
kelompok pemikiran fenomenologi eksistensialisme juga berpendapat bahwa
berpikir tidak terikat oleh pola deduktif-induktif-argumen kumulatif. Berpikir
bukan menggambarkan sesuatu didepan mata. Berpikir adalah berpikir, tidak
konseptual. Pikiran adalah sesuatu yang menerpa, menjumpai kita manakala ada
(yaitu Das Sein yang dibedakan dengan tegas dari Das Sollen). Mengungkapkan
diri pada pikiran kita. Fakta bagi mereka bukan sekedar fakta melainkan kisah.
Selanjutnya
disadari juga adanya bentuk-bentuk pemikiran tertentu yang terkadang sulit atau
agak sulit untuk diketahui identitasnya, misalnya logika dalam membuat syair,
dalam bermain catur, bermain bridge, menggubah musik, melawak dan sebagainya.
Juga terdapat apa yang disebut eustochia atau semacam intuisi yang cepat dapat
menangkap sesuatu berkat latihan. Tetapi menurut pengamatan kami semuanya itu
tidak jarang suatu bentuk pemikiran yang memuat cara pemikiran cara
deduktif-induktif-argumen-kumulatif. Bentuk pemikiran tersebut sering demikian
cepat berlangsung sehingga kita dapat mengalami kesulitan untuk mengenalinya
kembali.”
Penjelasan diatas
menunjukkan betapa kompleksnya hukum-hukum pemikiran, sehingga untuk sampai
kepada kesimpulan yang valid, diperlukan persyaratan-persyaratan yang memadai.
Dalam ilmu logika telah diajarkan secara terperinci bagaimana berpikir secara
sah/valid, disamping juga diajarkan kesalahan-kesalahan dalam membentuk
pemikiran dan menetapkan kesimpulan. Dengan memahami ilmu logika akan banyak
membantu kita membentuk pemikiran yang benar. Mengingat demikian pentingnya
memahami hukum-hukum pemikiran untuk melihat salah dan benar, serta melihat
betapa tajamnya Allah mempersoalkan landasan pemikiran, maka pada Program
Pembinaan Satu Semester ini akan diajarkan dasar-dasar berpikir secara logis,
sekedar untuk bekal menganalisis pemikiran yang obyektif dan subyektif.
Dasar-dasar
Berpikir Logis
Sebelum memahami
bagaimana berpikir secara logis, terlebih dahulu memahami proses mekanisme
pemikiran. Didalam diri manusia terdiri dari nafs atau aku sebagai peranan
aktif dan ruh, alat-alat indrawi dan alat-alat jasmaniah yang bersifat pasif,
semua unsur-unsur yang terdapat pada manusia tersebut masing-masing memiliki
fungsi sendiri-sendiri.
Mata untuk
melihat, telinga untuk mendengar dan otak untuk meredam dan mememori realitas
yang telah ditangkap oleh alat-alat inderawi manusia. Untuk memudahkan
pengertian otak dapat menyaksikan fungsi pita rekaman pada tape recorder. Dalam
buku yang berjudul Aku di Dunia dan di Akhirat karangan Prof. Dr. Aloei Saboe,
guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, diberikan penjelasan
mengenai otak sebagai berikut:
“Ilmu pengetahuan
yang modern, menerangkan bahwa otak itu hanya merupakan alat belaka dan tidak
lebih dari itu. Pendapat yang mengatakan bahwa otak itu tempat dari pikiran
adalah tidak sama dengan pendapat yang mengatakan bahwa otak itu adalah sumber
dari pikiran. Segala sesuatu yang bersangkutan dengan tubuh manusia adalah
mempunyai hubungan dengan otaknya, akan tetapi tidak disebabkan oleh otaknya.
Sebenarnya aku itulah yang mempergunakan dan memerintah otak, untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya dan kemauannya. Otak sendiri alat
perlengkapan badan, tidak dapat berpikir dan mengetahui sesuatu dan tidak pula
mempunyai kesanggupan atau daya untuk menciptakan sesuatu yang berupa pikiran
atau pengetahuan. Otak dari seekor kera besar atau orang hutan hampir tidak ada
bedanya dengan otak manusia, baik bentuk, berat atau besarnya (yang membedakan
potensi ini adalah faktor Ruh, IAW).
Tiada seorang ahli
pikir atau sarjana ilmu pengetahuan yang puas dengan pendapat bahwa otak bagian
alat perlengkapan tubuh, yang berpikir, mengingat dan kemauan. Aku bukanlah
otak akan tetapi otak adalah kepunyaan dan alat dari aku dan akulah
yang mempergunakan otak, sesuai dengan kehendaknya, aku adalah suatu zat
yang tidak dapat dilihat, dan tidak dapat diraba dan tidak dapat dipegang. Aku
hanya sekedar badan manusia selama hidupnya didalam dunia ini, pada fase
pertama dalam perjalanannya. Aku adalah kekal abadi, hidup dan bertumbuh
terus sepanjang masa dan tidak mengenal kematian.
Menurut ilmu urai, otak manusia terdiri dari
tiga bagian yaitu tampuk otak, otak besar atau cerebrum dan otak kecil
atau cerebellum. Tampuk otak terletak ditengah-tengah dan mempunyai
saluran serta terdiri atas:
Sumsum penyambung
atau medulla oblongata.
Otak kemudian,
yang terdiri atas perkumpulan serabut-serabut syaraf dan disebut titian verol
(pons veroli).
Otak tengah
(mesencephalon) yang mempunyai atap yang disebut aquaeductus sylvil.
Otak sisip atau
otak antara (diencephalon) dimana terdapat glandula pinealis yang dianggap
sebagai tempat bersemayamnya jiwa manusia.
Berat otak manusia
adalah kurang lebih 1500 gram dan tidak mempunyai alat perasa, artinya bila
otak dibuka dengan semacam gergaji dan dipotong-potong, maka kita tidak akan
merasa sakit. Otak terdiri atas 14 milyar sel, kurang lebih sebanyak
bintang-bintang dan planet-planet di cakrawala. Bila dipotong ditengahnya maka
kelihatan dua bagian, yaitu bagian luar yang berwarna kelabu dan bagian dalam
yang berwarna putih. Menurut ilmu urai, dengan bagian kelabu dari otak ini,
kita berpikir, merasa, mencintai, mengagumi dan sebagainya.
Otak besar terdiri
atas tiga bagian, bagian dalam, bagian belakang dan bagian sisi. Bagian depan
dari otak besar disebut labussfrontalis, mempunyai 100 central atau
pusat, diantaranya terletak pusat-pusat dari akal, budi pekerti, kebijaksanaan,
akhlak, temperamen, moral, sikap hidup dan sebagainya. Bagian terpenting dari
otak adalah bagian luar yang berwarna kelabu, bila bagian itu terserang oleh
suatu penyakit tertembus benda-benda tajam, maka timbullah berbagai kelainan
pada jiwa manusia, misalnya, kekacauan dalam pikiran, perasaan lebih unggul
dari orang lain, kasar dengan kata-kata dan pernyataan, keruntuhan akhlak dan
jiwa, lenyapnya daya ingatan, lenyapnya daya pengenal dan akhirnya menjadi
gila. Juga kerusakan dari berbagai pusat pada bagian kelabu dari otak misalnya
rusaknya pusat atau centrum penglihatan, maka orang tidak dapat melihat
sekalipun kedua mata terbuka baik dan utuh. Kita tidak melihat dengan biji mata
dengan biji mata, tetapi dengan perantara sel-sel dipusat ingatan. Dengan
rusaknya sel-sel dipusat ingatan, kita tidak dapat melihat lagi, sekalipun kita
melihat dengan baik. Juga disini terdapat pusat-pusat atau central gerakan,
misalnya, gerakan mata, gerakan kepala, menulis, gerakan kaki, gerakan mulut,
berbicara, perasaan dingin, dan lain sebagainya. Bagian kelabu dari otak ini
sedemikian pentingnya sehingga pentingnya sehingga bila dipotong dari bagian
otak ini, sebesar ujung jarum, dilihat dibawah mikroskop penuh dengan
titik-titik cahaya yang gemerlapan dan cemerlang (mikro dan makro kosmos).
Sedikit uraian
tentang kelenjar nanas (glandula pincalis). Kelenjar ini berbentuk nanas yang
dianggap tempat bersemayamnya jiwa manusia. Menurut penyelidikan, fungsi dari
kelenjar kelamin ini adalah mengerem atau menghambat perkembangan kelenjar
kelamin. Pada umur 10 tahun kelenjar ini menghentikan fungsinya yang
mengakibatkan bertumbuh dan berkembangnya kelenjar kelamin dengan mempro-duksi
air mani pada kaum pria dan sel telur pada kaum wanita. Bila kelenjar nanas ini
sebelumnya mengalami kerusakan, misalnya, menjadi keras sebagai batu karena
proses pengapuran (culcanisasi) maka timbullah apa yang disebut anak ajaib yang
ditakdirkan untuk meninggal dunia pada umur yang muda sekali. Anak yang
demikian ini menunjukkan sifat-sifat kedewasaan pada umur yang muda. Pada umur
empat tahun ia menjadi sempurna dewasa dan memperlihatkan sikap hidup serta
cara berpikir dari orang dewasa. Ia gemar sekali berfilsafat dan berdiskusi
tentang soal-soal kematian.”
Demikian ungkapan
mengenai perangkat dan fungsi otak menurut Prof. Dr. Aloei Saboe. Sisi yang
paling relevan pada topik diatas yang berkenaan dengan permasalahan kita ialah
bahwa otak manusia memiliki fungsi yang besar pada pembentukan pikiran, akan
tetapi otak bukan sumber pemikiran, sedangkan pembahasan lainnya hanya sekedar
pengetahuan yang berhubungan dengan otak manusia.
Seperti yang telah
dikemukakan diatas bahwa fungsi otak untuk meredam dan memori realita-realita
disekelilingnya. Realita-realita tersebut terdiri atas tiga hal antara lain :
Alam Natural, yang
terdiri dari :
Unsur Dzat
Unsur Bentuk
Unsur Sifat
Unsur Perhubungan
Sifat
Unsur-unsur
tersebut diatas terdiri dari berbagai ragam.
Alam Matematika
Yang terdiri dari
angka dan hitungan-hitungan
Alam Etika
Yang terdiri dari
nilai-nilai positif dan nilai-nilai negatif, baik dalam pemikiran, kepribadian
dan hukum-hukum sosial.
Realitas yang
terdiri dari 3 alam itu satu sama lainnya saling kait-mengkait, isi-mengisi,
berjalan dalam keintegrasiannya dan melepaskan diri dari lingkup
keintegrasiannya pada kondisi-kondisi dan terkadang menyatu kembali pada
lingkup keintegrasian yang lebih luas. Sebelum realitas itu tertangkap oleh
otak terlebih dahulu melewati indera-indera pada manusia, dari indera itulah
realitas yang ada terekam atau teredam oleh otak manusia. Yang perlu digaris
bawahi dalam hal ini relativitas indera-indera pada manusia, oleh karena itu
ada kemungkinan bahkan besar sekali, penangkapan-penangkapan yang dilakukan
oleh indera-indera manusia terhadap realitas yang mutlak itu melahirkan
kesalahan, tidak sesuai dengan realitasnya.
Untuk selanjutnya
pengertian yang salah itu tertampung pada otak dan menjadi pengetahuan dari
pengamatnya dan pada perkembangan seterusnya dapat menjadi titik tolak
pemikiran, penilaian dan perilaku manusia. Apabila pengetahuan tersebut salah
dapat dipastikan seluruh produk pemikiran yang keberangkatannya dari
pengetahuan yang keliru akan melahirkan kekeliruan juga. Oleh karena itu kita
harus memiliki landasan yang profesional dalam melihat suatu realitas. Dengan
demikian pengetahuan-pengetahuan yang ada, baik dalam dunia natural ataupun
supranatural, akan kecil kemungkinan salahnya dalam mempersepsikan suatu
realitas atau pengetahuan.
Tidak sedikit
ilmuwan yang memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang dasar-dasar berpikir
secara obyektif. Disini akan dipaparkan beberapa diantaranya.
Aristoteles
(dikutip dari
Partap Sing Mehra, MA, Pengantar Logika Tradisional, Bandung: Binacipta, 1986).
Aristoteles yang
dipandang sebagai Bapak Logika, memberikan tiga buah hukum dalam menetapkan
dasar-dasar berpikir secara obyektif, yaitu:
Hukum Identitas,
Hukum Kontradiksi,
Hukum Penyisihan
Jalan Tengah, dan Leibnitz, seorang ahli filsafat modern, menambahkan 1 hukum
lagi, yakni:
Hukum Cukup
Alasan.
Penjelasan
Hukum Identitas
ialah suatu benda adalah benda itu sendiri
Secara simbolis
dapat dikatakan A adalah A. Hukum ini menyatakan bahwa suatu benda adalah benda
itu sendiri, tidak mungkin yang lain. Dan selanjutnya berarti yang sebenarnya
dari suatu benda tetap sama selama benda itu dibicarakan atau dipikirkan.
Konsep-konsep dan term-term yang dipergunakan didalam suatu pemikiran haruslah
tetap sama artinya selama pembicaraan itu berlangsung. Jadi kalau kita mulai
dengan gagasan suatu obyek tertentu mempunyai atribut-atribut yang tertentu
pula, maka kita tidak boleh melupakan bahwa obyek itu tetap mempunyai
atribut-atribut yang telah ditentukan itu dan atribut itu tidak boleh berubah,
karena kalau atribut-atribut itu berubah, maka arti konsep berubah pula. Hal
ini akan mengakibatkan kekacauan dalam pemikiran itu dan kesimpulan-kesimpulan
yang diambil akan menjadi salah.
Hukum Kontradiksi
ialah suatu benda tidak dapat merupakan benda itu sendiri dan benda yang lain
pada waktu yang sama atau sesuatu tidak dapat positif dan negatif pada waktu
yang sama.
Hukum ini dapat
dikatakan dengan kalimat lain sesuatu tidak dapat ada dan tidak ada pada waktu
yang sama atau kita tidak dapat mengatakan bahwa sesuatu itu ada dan tidak ada
pada waktu yang sama, tak mungkin A sama dengan B dan bukan B secara serentak.
Yang dimaksud
dengan hukum ini bahwa dua sifat yang berlawanan tidak mungkin ada pada suatu
benda pada waktu dan tempat yang sama. Tak dapat kita katakan bahwa meja ini
hitam dan tidak hitam, kedua term ini mungkin benar untuk suatu meja. Kalau
pernyataan meja ini hitam adalah benar, maka pernyataan ini tak hitam, tidak
mungkin benar. Meskipun mungkin meja ini hitam pada suatu saat dan tak hitam
pada saat yang lain, tetapi tidak masuk akal bahwa meja ini hitam dan tidak
hitam pada saat dan tempat yang sama. Hamilton menyebut hukum ini Hukum Non
Kontradiksi, karena tak adanya kontradiksi merupakan syarat bagi pemikiran yang
valid.
Hukum Penyisihan
Jalan Tengah
Hukum ini dapat
dijelaskan sebagai berikut, segala sesuatu haruslah positif atau negatif. A
mestilah B atau tidak B. Arti dari hukum ini ialah bahwa dua sifat yang
berlawanan tak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, hanya salah satu
daripadanya yang dapat dimilikinya. Dengan kata lain dapat pula dikatakan bahwa
salah satu dari dua sifat yang berlawanan mestilah benar bagi suatu benda.
Jevons mengatakan bahwa nama hukum itu menyatakan bahwa tak ada kemungkinan
ketiga atau jalan tengah, jawabannya ya atau tidak. Menurut hukum kontradiksi,
dua hal yang kontradiksi tidak mungkin benar keduanya bila terdapat pada suatu
benda, satu diantaranya harus salah. Jika kita katakan bahwa meja itu hijau dan
tidak hijau kedua pernyataan itu tidak mungkin benar pada satu meja, maka salah
satu dari padanya mesti salah.
Menurut hukum
penyisihan jalan tengah, dua hal yang kontradiksi pada suatu benda, keduanya
tidak mungkin salah, karena itu salah satu darinya mestilah benar. Jadi jika
kita gabungkan kedua prinsip ini, maka kebenaran salah satu dari pada dua hal
yang berkontradiksi, menunjukkan kesalahan yang lainnya dan kesalahan yang satu
menunjukkan kebenaran yang lainnya. Keduanya tidak bisa benar, dan keduanya
tidak pula bisa salah. Haruslah diperhatikan benar bahwa kedua hukum ini hanya
menunjukkan kontradiksi bukan kontrari.
Term-term yang
kontrari tak mungkin sama-sama benar pada saat dan benda yang sama, tapi
keduanya dapat salah. Kalau kita rasakan, kertas ini hitam dan kertas ini putih
kedua pernyataan ini mungkin salah terhadap kertas ini, karena kertas ini
mungkin merah. Tapi jika kita katakan bahwa kertas ini putih dan kertas ini
putih, maka pernyataan ini tidak dapat sama-sama salah. Satu diantaranya
mestilah benar, dan lainnya mestilah salah.
Hukum Cukup Alasan
Hukum ini
merupakan hukum tambahan bagi hukum identitas. Adanya sesuatu itu mestilah
mempunyai alasan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan
sesuatu. Jika sesuatu benda jatuh ke tanah, alasannya ialah karena adanya daya
tarik bumi sedang benda itu tidak ada yang menahannya.
Hukum ini
dikatakan merupakan tambahan bagi hukum identitas, karena secara tak langsung
mengatakan bahwa sesuatu benda mestilah tetap tidak berubah, artinya tetap
sebagaimana benda itu sendiri. Tetapi jika kebetulan terjadi sesuatu perubahan,
maka perubahan ini mestilah ada suatu keadaan yang mendahuluinya yang sanggup
menyebabkan perubahan itu. Dengan kata lain, hukum ini menyatakan bahwa di alam
ini tak ada yang mungkin terjadi dengan tiba-tiba tanpa alasan yang cukup.
Singkatnya :
Hukum Identitas (A
= A)
Hukum Kontradiksi
(AB tidak sama dengan A)
Hukum Penyisihan
Jalan Tengah (A adalah A atau B)
Hukum Cukup Alasan
(terjadinya A ada sebab)
Dr W Poespoprodjo
L.Ph.SS
(dikutip dari Dr W
Poespoprodjo L.Ph.SS, Logika Ilmu Menalar,Bandung:Rosda Karya, 1984)
Menurut
Poespoprodjo dasar pemikiran obyektif mempunyai 3 syarat, yaitu:
Pemikiran harus
berpangkal dari kenyataan atau titik pangkalnya yang harus benar.
Suatu pemikiran
yang meskipun jalan pemikirannya logis, tidak berpangkal dari kenyataan atau
dari dalil yang benar, tentu tidak akan menghasilkan kesimpulan yang benar
(apalagi kesimpulan yang pasti!). Misalnya dalam contoh pohon-pohon diatas,
kalau terjadi tanah longsor, maka memang bisa benar-benar bahwa pohon-pohon
tumbang, akibat tanah longsor. Ini hubungan yang logis. Tetapi, kalau dalam
kenyataan tidak terjadi tanah longsor, tumbangnya pohon-pohon jelas tidak
disebabkan tanah longsor. Meskipun hubungan itu masuk diakal atau jalan pikiran
sudah logis, kesimpulan tidak benar, karena titik pangkalnya tidak benar.
Kalau titik
pangkal suatu pemikiran tidak pasti, maka kesimpulan yang ditarik dari padanya
juga tidak akan pasti, bahkan mungkin salah. Misalnya kalau tidak pasti apakah
ditempat itu dibuat jalan, juga tak dapat dipastikan apakah pohon-pohon tumbang
karena ditebang untuk pembuatan jalan. Dan kalau tak bernapas lagi belum tentu
cukup alasan untuk dikatakan sudah mati, maka kesimpulan dia = mati juga tidak
pasti.
Alasan-alasan yang
diajukan harus tepat dan kuat.
Kerap kali terjadi
orang mengajukan pernyataan atau pendapat, tapi yang sama sekali tidak
dibuktikan atau didukung dengan alasan-alasan. Sering juga orang merasa sudah
pasti dan yakin dalam menarik kesimpulan, padahal sebenarnya tidak cukup
alasan, atau alasan yang dikemukakan itu tidak kena, tidak kuat, tidak
membuktikan apa-apa.
Ada hal-hal yang
dapat dibuktikan hanya dengan menunjukkan pada fakta atau kenyataan (meskipun
untuk itu diperlukan penelitian yang seksama). Tetapi banyak hal hanya dapat
dibuktikan dengan suatu pemikiran, yang merupakan suatu rangkaian
langkah-langkah, disusun secara logis menjadi suatu jalan pikiran, anggapan
yang secara diam-diam dimasukkan. Untuk menganalisis jalan pikiran seperti itu,
langkah-langkah dan alasan-alasan perlu dieksplisitkan dulu.
Jalan pikiran
harus logis atau lurus (sah)
Jika titik pangkal
memang benar dan tepat, tapi jalan pikiran (urutan langkah-langkahnya) tidak
tepat, maka kesimpulan juga tak tepat dan benar. Jalan pikiran itu mengenai
pertalian atau hubungan antara titik pangkal/alasan/premis-premis dan
kesimpulan yang ditarik dari padanya. Jika hubungan tersebut tepat dan logis,
maka kesimpulan disebut sah (valid). Sebagai contoh bandingkanlah tiga
pemikiran berikut ini. Perhatikanlah mengapa kesimpulan salah.
Semua orang
berambut gondrong itu jahat
Para penjahat
harus dihukum.
Jadi semua orang
yang berambut gondrong harus dihukum.
RG
= P
P = H
______________
RG =
H
Jalan pikiran
logis, tapi kesimpulan salah, karena titik pangkal salah: Berambut gondrong
tidak sama dengan penjahat.
Tetangga saya
mempunyai mobil.
Karena itu saya
pun harus mempunyai mobil.
T = PM
Saya =
T
____________________
Saya =
PM
Tidak cukup
alasan, kita sama dalam hal apa dan dalam hal apa tidak sama.
Semua sapi itu
binatang
Semua kuda itu
binatang
Jadi sapi itu kuda
S
= B
K
= S
_____________
S
= K
Kalimat pertama
dan kedua memang benar, tetapi kesimpulan salah karena jalan pikiran (kaitan
antara premis dan kesimpulannya) keliru.
Hegel, filosof
dari bangsa Jerman (1834 – 1919)
Mengemukakan suatu
sistem dialektika untuk mencari/menguji kebenaran. Tiap-tiap ide atau pemikiran
yang benar-benar valid harus sudah melewati antitesisnya atau anti pemikiran.
kebenaran yang mutlak menurut Hegel ialah sintesis akhir. Kekeliruan-kekeliruan
pemikiran tidak akan kuasa menghadapi antitesisnya. Sebagai contoh, untuk
menguji kebenaran paham atheisme harus dibenturkan dengan paham theisme, paham
kapitalisme dibenturkan dengan paham komunisme, paham nasionalisme dibenturkan
dengan paham internasionalisme. Disini akan terjadi seleksi alamiah paham-paham
yang keliru. Pada masing-masing paham akan terseleksi dengan sendirinya, sampai
akan melahirkan kebenaran yang mutlak dan kekeliruan yang mutlak. Kebenaran dan
kesalahan merupakan dua sifat yang berlawanan, menurut hukum penyisihan jalan
tengah, dua sifat yang berlawanan tidak akan dapat menyatu pada satu waktu dan
satu benda yang sama.
Menurut pandangan
penulis, produk pemikiran manusia itu ada dua tingkatan: tingkatan yang pertama
ialah persepsi yang timbul secara langsung atau persepsi yang lahir dari
pengamatan terhadap suatu realitas. Tingkatan yang kedua ialah persepsi yang
tidak timbul dari pengalaman realitas melainkan timbulnya dari persepsi atau
berbagai persepsi pemikiran yang pertama.
Disini penulis
mencoba untuk sedikit memberikan masukan tentang Dasar-dasar/Prinsip-prinsip
Berpikir secara Benar. Untuk memudahkan penyampaian, bahasan ini saya bagi ke
dalam tiga bagian, yaitu:
Dasar-Dasar
Berpikir secara Benar.
Hakikat Realitas.
Cara yang Benar
Melihat Hakikat Realitas.
Penjelasan
Dasar-Dasar
Berpikir secara Benar
Sebelum penulis
menjelaskan dasar-dasar berpikir secara benar, terlebih dahulu penulis
mengulang kembali tentang pengertian berpikir, berpikir ialah upaya seseorang
untuk menjawab persoalan. Pemikiran ialah hasil pengamatan otak terhadap
realitas/fakta. Pemikiran yang benar ialah yang sesuai dengan realitas,
pemikiran yang keliru ialah yang tidak sesuai dengan realitas. Realitas
bersifat mutlak, ia adalah obyek pengamatan, ia tidak bisa berubah oleh
pemikiran, melainkan pemikiran itu sendiri yang tunduk pada kemutlakan
realitas.
Dari analisis
diatas dapat dilihat bahwa prinsip/dasar berpikir secara benar ialah menentukan
segala permasalahan menurut kenyataannya (berpikir secara realistis) atau
sesuai dengan obyeknya (berpikir secara obyektif). Jadi apa yang dikatakan
Prof. Dr. Aloei Saboe dan paham fenomenologi eksistensialisme dapat
dipertanggung jawabkan, bahwasanya otak manusia tunduk pada realitas, bukan
realitas yang tunduk pada otak manusia.
Menyadari bahwa indrawi
dan otak manusia sangat terbatas untuk memahami hakekat realitas yang demikian
luas dan kompleks, sehingga prinsip dasar berpikir obyektif ini sangat
mengutamakan dan memprinsipkan kecanggihan sarana dan prasarana dalam melihat
hakikat realitas untuk membantu keterbatasan inderawi dan otak manusia melihat
realitas.
Satu hal disini
yang perlu digarisbawahi tentang pengertian keterbatasan inderawi dan otak
manusia. Tidak sedikit para ilmuwan yang berpaham dengan keterbatasan inderawi
dan otak manusia, manusia tidak mampu untuk memahami hakikat suatu realitas.
Mereka mengidentikkan keterbatasan dengan kerelatifan sehingga melahirkan
kesimpulan bahwa sesuatu yang relatif tidak akan dapat melahirkan kemutlakan.
Menurut pendapat
penulis, inderawi dan otak manusia memiliki kemampuan yang luar biasa, dan
memiliki juga kelemahan pada batas-batas tertentu. Sebagai contoh kemampuan
mata dalam melihat. Pada jarak sekitar 1 meter penglihatan tersebut tidak
memiliki keterbatasan untuk melihat sesama manusianya, akan tetapi pada jarak
100 meter sudah tidak mampu untuk melihat seperti melihat dengan jarak 1 meter.
Namun dengan kecanggihan peralatan, penglihatan pada jarak 100 meter sudah
tidak terdapat lagi keterbatasannya, semua hasil pengamatan dapat mencapai
kemutlakan.
Produk pemikiran
manusia tentang adanya Allah, dapat dipertanggung jawabkan kemutlakannya,
khususnya bagi orang agamawan, mustahil kedudukannya bersifat relatif dengan
pengertian dapat salah dan dapat benar.
Dengan
contoh-contoh yang sangat banyak, dapat disimpulkan bahwa dengan kemampuan
inderawi dan otak manusia yang memiliki kelemahan tersebut, mampu untuk
memahami dan menyingkapkan realitas tertentu secara mutlak. Orang yang tidak
mempercayai adanya kemutlakan pemikirannya bahwa tidak ada kemutlakan pada
produk pemikiran manusia, dengan demikian mereka sebenarnya mempercayai adanya
kemutlakan pada pemikiran manusia.
Berpikir obyektif
yaitu suatu pengamatan yang sesuai dengan obyeknya. Meskipun demikian tidak
sedikit orang yang keliru mempersepsikan isi berpikir secara obyektif. Mereka
mengira bahwa berpikir obyektif, mesti segala sesuatu yang bisa
dinalarkan/dirasionalkan. Menurut mereka banyak sekali segala permasalahan
tidak bisa dinalarkan/dirasionalkan. Padahal berpikir yang menyandarkan pemikiran
pad realitas, tidak mesti segala sesuatu mesti dirasionalkan/dinalarkan.
Berpikir obyektif sangat menerima segala permasalahan yang tidak atau belum
dapat dinalarkan, sepanjang variabel penalaran tidak atau belum diterima.
Penalaran atas segala sesuatu yang berpijak pada variabelnya justru tidak
obyektif, begitu juga paham yang apriori terhadap paham keharusan berpenalaran
pada sesuatu yang sudah bisa dinalarkan juga tidak benar.
Hakikat Realitas
Hakikat realitas
didunia ini ada dua macam yakni:
Realitas
kebendaan/jasmaniah
Realitas
etika/rohaniah
Realitas kebendaan
terdiri dari dua macam, yaitu:
Yang bersifat
kongkrit, meliputi berbagai unsur, antara lain:
Ada Zatnya
Ada Bentuknya
Ada Sifat-sifatnya
Ada Interaksi
kedalam dan keluar
Ada
Persenyawaan-persenyawaan Baru
Yang bersifat
abstrak yaitu berkenaan dengan nilai yang terdapat pada realitas kebendaan.
Realitas
etika/kerohanian terdiri dari dua macam, yaitu:
Yang bersifat
kongkrit, meliputi :
Persetubuhan,
dengan cara berzina, memperkosa, sesama jenis atau dengan nikah.
Menindas dan yang
memperjuangkan penindasan.
Dan lain
sebagainya.
Yang bersifat
abstrak, yaitu berkenaan dengan nilai yang terdapat pada realitas etika.
Cara yang Benar
Melihat Hakikat Realitas
Hakikat realitas
yang bersifat kongkrit, tidak dipengaruhi oleh manusia. Sifatnya tetap tidak
berubah-ubah, sehingga untuk menyatakan atau melihat keadaannya tidak sulit
asal sarana pengamatannya sudah memenuhi. Contoh pada realitas kebenaran
keadaan hujan, sebab hujan, akibat yang ditimbulkan oleh hujan, pada realitas
etika pencurian, pelacuran, pembunuhan dengan segala sebab dan akibatnya.
Hakikat realitas
yang bersifat abstrak yaitu penetapan nilainya suatu realitas, untuk menetapkan
hakikat realitas yang bersifat kongkrit. Nilai suatu realitas sifatnya tidak
tetap, selalu berubah-ubah, banyak dipengaruhi oleh kondisi alam dan kehendak
manusia.
Sebagai contoh
dalam menetapkan nilai padi dalam kondisi alam yang baik berbeda saat kondisi
alam tidak baik, atau apabila terjadi musibah wereng dan akan berbeda pula
apabila masyarakatnya sedang perang atau adanya permainan politik oleh para
penguasa, kadar atau grafik nilainya tidak sama.
Contoh nilai etika
pada perbuatan pembunuhan, ukuran nilai pada dunia etika ialah kebaikan dan
keburukan secara umum adalah keburukan karena mengakibatkan kerugian pada orang
lain, nilai pembunuhan itu akan bergeser apabila motifnya untuk mempertahankan
diri dari pembunuhan atau dari perkosaan, bahkan akan bernilai positif apabila
dilakukan dalam perang atau menolong keselamatan raja.
Pada suatu
perbuatan sering dijumpai pada sisi tertentu membawa kebaikan dan pada sisi
lainnya membawa keburukan, seperti perbuatan judi. Untuk menetapkan nilai
perbuatan yang seperti ini banyak dipengaruhi oleh faktor kekuasaan. Oleh
karena itu untuk menetapkan nilai suatu perbuatan harus memiliki landasan
alami, universal dan tidak sedikit orang-orang yang menyerahkannya pada
kitab-kitab agama atau suara mayoritas. Dasar obyektif untuk menetapkan landasan
nilai menurut pandangan penulis ialah yang memiliki hak dalam menetapkan nilai
atau landasan alamiah secara menyeluruh. Untuk memahami pijakan alamiah
diperlukan syarat yang berat, yaitu ilmu yang menyeluruh dan ketelitian yang
tinggi.
Ringkasnya, cara
untuk melihat realita ialah:
Pada realitas
kongkrit dengan menggunakan sarana teknik dan manajemen yang canggih.
Pada realitas yang
abstrak dengan menggunakan landasan alamiah dan universal atau dengan
menggunakan konsep ketuhanan, berintikan pada dasar-dasar alamiah dan
universal.
Kesimpulan
seluruhnya ialah untuk menetapkan dasar/prinsip berpikir benar ialah obyektif,
profesional, dan jujur (mengikuti obyek, menyingkap obyek dengan alat yang
canggih, menerima realitas obyek).
Hikmah berpikir
obyektif :
Memiliki
keterbukaan dalam ilmu pengetahuan.
Tidak takut
terhadap kritik dan pertanggungjawaban suatu persepsi.
Menghargai
pendapat orang lain yang berisi kebenaran.
Memiliki kesediaan
dan keberanian untuk mengakui kesalahan diri sendiri.
Menjauhkan diri
dari sifat-sifat ashobiyah, yang memandang kebenaran dan kesalahan bukan dari
pokok-pokok permasalahannya melainkan dari kedudukan seseorang atau dari
golongan tertentu.
Melahirkan
kepercayaan yang tinggi terhadap apa-apa yang diyakini sebagai suatu kebenaran.
Menumbuhkan
kepercayaan diri. Tidak takut untuk mengoreksi kepada siapapun dan berdiskusi
kepada siapapun yang diyakini mereka memiliki kekeliruan.
Mereka yang tidak
berpikir obyektif hampir dapat dipastikan akan memiliki sifat-sifat yang
bertentangan dengan karakter diatas.
(Bagi para
instruktur hikmah diatas dapat lebih dijelaskan!).
Al-Qur’an mendidik
para pembacanya untuk berpikir secara obyektif. Sebenarnya banyak sekali ayat
yang menginformasikan tentang landasan pemikiran obyektif didalam syariat
Islam, akan tetapi pada kesempatan ini, kami hanya mengangkat sebuah hadits
yang sudah populer, yang prinsipnya berbunyi “dalam menumbuhkan suatu
kepercayaan janganlah melihat orangnya, tetapi lihatlah isi atau potensi yang
dibicarakan”.
Meskipun seorang
ulama besar, apabila memiliki kekeliruan wajib bagi umat Islam untuk menegur
dan tidak mengikuti kekeliruannya. Sebaliknya meskipun mereka orang kafir,
apabila pembicaraannya benar, ada kewajiban bagi umat Islam untuk mengikutinya.
Benar dan salah itu bukan berada atau bersumber pada kedudukan, pada
kelembagaan dan pada individual, akan tetapi kebenaran dan kesalahan terdapat
pada kesesuaian dan ketidaksesuaian antara pernyataan dengan obyek
permasalahannya. QS At-Taubah ayat 31 menunjukkan ayat yang tegas, bahwasanya
umat Islam dilarang untuk mengikuti suatu kekeliruan, sekalipun yang berbicara
itu seorang ilmuwan.
Belajar pada Ahli
Ilmu Pengetahuan
Cara kedua untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan ialah belajar kepada ilmuwan atau ulama. Sebelum
kita belajar kepada ulama, idealnya mengetahui apa dan siapa ulama yang
memiliki kelayakan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan secara obyektif. Sejarah
telah menginformasikan kepada kita tentang kejahatan-kejahatan para ilmuwan.
Demi mencapai kedudukan yang tinggi dan untuk mencapai harta yang
berlimpah-limpah, mereka tidak segan-segan mengkhianati ilmunya dan menipu
masyarakat. Oleh karena itu kita harus waspada terhadap ilmuwan dimana kita
menggantungkan diri. Untuk lebih memahami kedudukan ilmuwan secara rinci,
bersama ini akan dibahas tentang keulamaan dalam beberapa sub topik, antara
lain:
Ulama menurut
aspek bahasa.
Esensi dan fungsi
ulama
Meninjau kedudukan
ulama menurut:
Tinjauan dalil
Tinjauan sejarah
Tinjauan
sosiologis
Landasan menetapkan
kedudukan ulama positif dan ulama negatif
Menurut tinjauan
umum
Melewati Landasan
Kepribadian Rasul SAW
Melewati
hadits-hadits hukum
Menurut para ulama
yang masyhur kesalehan dan kealimannya.
Menurut tinjauan
sejarah
Kesimpulan
Evaluasi
lingkungan
Sikap pemikiran
dan sikap perilaku terhadap ulama positif dan ulama negatif
Cara-cara penguasa
kafir dalam memainkan peranan ulama untuk menunjang kekafiran lewat pendekatan
sejarah.
Untuk lebih
jelasnya, tiap-tiap sub topik diatas akan diuraikan sebagaimana dibawah ini.
Ulama Menurut
Aspek Bahasa
Kata ulama artinya
orang-orang yang mengerti atau orang-orang berilmu. Kata ulama merupakan bentuk
jamak dari kata alim yang berarti orang yang tahu atau orang yang berilmu. Kata
ulama tersebut apabila tidak dihubungkan dengan perkataan lain maka kata
tersebut mengandung arti yang masih umum, sehingga dapat diartikan orang-orang
yang memiliki ilmu apapun, baik itu berkenaan dengan ilmu agama ataupun bukan.
Apabila dihubungkan dengan kata-kata tertentu, misalnya ulama fiqh, ini artinya
orang-orang yang mengetahui tentang masalah fiqh. Atau misalnya lagi, ulama
politik, ulama teknik, maka artinya akan mengikuti kata tambahannya.
Menurut bahasa
yang berlaku sekarang di Indonesia ini kata ulama atau alim ulama diartikan
sebagai orang-orang yang ahli tentang agama Islam yang berkenaan dengan ilmu
tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqh, ilmu kalam, bahasa Arab dan sebagainya. Kalau
kita memasuki lebih dalam tentang hal-hal yang terdapat didalamnya meliputi
seluruh ilmu pengetahuan yang terdapat pada alam ini. Walaupun masih diungkap
secara global. Kalau dibahasakan dengan bahasa sekarang, maka ilmu pengetahuan
agama Islam itu meliputi Filsafat Ketuhanan, Filsafat Etika, Filsafat
Kemanusiaan yang meliputi bidang Biologi, Psikologi, Sosiologi, Hukum, Ekonomi,
Politik, Seni, Kebudayaan, dan Kosmologi; serta ilmu pengetahuan alam,
sedangkan pada masing-masing bidang tersebut masih terbagi lagi menjadi
berbagai cabang pengetahuan. Maka mustahil seorang manusia menjadi ahli agama
Islam dalam arti yang sebenarnya.
Oleh karena itu
seharusnya ada standar kapan seseorang itu dapat dikatakan ahli dalam suatu
bidang pengetahuan. Mungkinkah seorang yang hanya mengetahui sedikit bidang
keilmuan tertentu dapat dikatakan sebagai orang yang ahli?
Untuk mengetahui
keahlian seseorang pada bidang keilmuan tertentu pada masa sekarang ini sudah
tidak sulit. Kita bisa melihat tingkat pendidikan yang dimiliki, nilai
pendidikan, dan pengalaman keilmuannya. Pada mereka yang tidak memiliki
pendidikan formal, dapat dilihat serta karya-karya ilmiahnya. Para politisi
abad sekarang tidak terlalu menyandarkan pendidikan formal sebagai satu-satunya
alternatif. Murtadha Muthahari, seorang ilmuwan Iran, mendefinisikan
intelektual tidak mesti dari pendidikan formal.
Semoga penjelasan
ini dapat memberikan kepekaan akan arti yang sesungguhnya seorang figur ulama,
sehingga nantinya kita dapat belajar atau bertanya kepada mereka yang memang
benar-benar ahlinya.
Esensi dan Fungsi
Ulama
Dari tinjauan
bahasa, dapat diketahui bahwa esensi ulama ialah orang-orang yang memiliki ilmu
pengetahuan, dengan demikian fungsi ulama ialah mengajarkan dan mengamaliahkan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Seorang ulama yang tidak mengajarkan dan
mengamaliahkan ilmunya, secara tinjauan fungsional tidak dapat dikatakan
sebagai ulama dan secara fungsional mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang
awam, yang tidak memiliki keahlian pada pengetahuan tertentu. Begitu juga bagi
ulama yang hanya mengajarkan tetapi tidak mengamalkan, tidak ada artinya ilmu
tanpa amaliah.
Ibarat orang yang
mempunyai keahlian membuat roti dan senantiasa rutin mengajarkan kepada
masyarakat cara-cara membuat roti. Apabila tidak ada yang mengamaliahkan
pembuatan roti maka adanya orang yang ahli membuat roti dan adanya pengajaran
pembuatan roti tidak ada bedanya dengan tidak adanya orang yang ahli membuat
roti dan tidak adanya pengajaran pembuatan roti, yaitu bahwa masyarakat
sama-sama tidak merasakan roti.
Meninjau Kedudukan
Ulama
Tinjauan Dalil
Dalil-dalil yang
Positif
Arti para ulama
itu sebagai pelita di permukaan bumi dan pengganti para nabi dan sebagai
pewarisku dan pewaris nabi-nabi. (HR. Ibnu Ady dari Sayidina Ali
ra.).
Dan demikian
diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada
yang bermacam-macam warnanya (jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah
diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa, lagi Maha Pengampun.
(QS. Faathir [35]
ayat 28)
Dalil-dalil yang
Negatif
Perumpamaan
orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tidak memikulnya
adalah keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal..
(QS. [62]
Al-Jumu’ah ayat 5)
Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani, benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan
mereka menghalangi manusia dari jalan Allah … (QS At-Taubah [9]
ayat 34)
Mengapa
orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka, tidak melarang mereka
mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk
apa yang telah mereka kerjakan (QS. Al-Maidah [5] ayat 63)
Celakalah bagi
ummatku (akibat) daripada (perbuatan) ulama-ulama su’. (HR.
Al-Hakim dari Anas ra.)
Akan tetapi bagi
manusia ada suatu zaman dimana agama Islam tidak tinggal kecuali hanya namanya
saja, dan tidak ada yang tinggal daripada kitab Al-Qur’an kecuali hanya huruf
dan tulisannya saja, masjid-masjidnya mentereng dan megah tetapi sunyi daripada
petunjuk. Ulama mereka adalah manusia yang paling jahat (jelek) dari antara
mereka yang ada di bawah langit. Dari mereka (para ulama itu) muncul
bermacam-macam fitnah dan (fitnah itu) kembali ke dalam lingkungan mereka.
(HR. Imam Baihaqi)
Kecelakaan adalah
bagi umatku dari akibat perbuatan ulama yang paling jelek (jahat). Mereka
memperdagangkan ilmu ini. Mereka sama menjualnya kepada para penguasa (raja)
dimasa mereka dengan maksud untuk keuntungan mereka sendiri. Semoga Allah tidak
memberi keuntungan pada perdagangan mereka itu. (HR. Hakim dalam Kitab
Tarikh, dari Anas ra)
Aku pernah
bertanya: “Ya Rasulullah saw, mana manusia yang paling jahat atau jelek?” Maka
Rasulullah saw bersabda: “Ya Allah, hapuskanlah dosa-dosa kami. Bertanyalah
kamu dari hal kebaikan, dan janganlah kamu bertanya dari hal kejahatan.
(Ketahuilah!) sejahat-jahat manusia itu, yaitu sejelek-jelek ulama di
tengah-tengah manusia. “ (HR. Al-Bazaar dari Muadz bin Jabal ra)
Apabila
tergelincir seorang ulama, maka tergelincirlah suatu alam daripada makhluk
(lingkungan sekitar) karena sebab tergelincirnya (ulama tersebut).
(al-Hadits).
Ringkasnya,
kedudukan ulama yang positif ialah pelita bumi, pengganti para nabi, pewaris
nabi Muhammad SAW, pewaris nabi-nabi dan orang-orang yang takut kepada Allah.
Sedangkan
kedudukan ulama yang negatif ialah:
Keledai yang
memikul kitab tebal
Memakan harta
dengan jalan batil
Menghalangi
manusia dari jalan Allah
Tidak melarang
kezaliman
Ulama su’ (ulama
jahat), sejelek-jelek manusia ditengah umat
Tukang fitnah atau
sumber fitnah
Penjual ilmu untuk
keuntungan diri bukan untuk kepentingan umat
Tukang
menggelincirkan umat
Menurut tinjauan
dalil-dalil diatas dapat diketahui bahwa kedudukan ulama ada dua versi yaitu Ulama
Penerus Misi Rasul dan Ulama Perusak Umat.
Tinjauan Sejarah
Ulama penerus misi
rasul dan ulama perusak umat tidak hanya disinyalir pada dalil-dalil seperti
yang telah disebutkan diatas, melainkan dapat diamati pada perjalanan hidup manusia.
Kita dapat melihat perjalanan sejarah para ulama dan rahib-rahib pada zaman
Nabi Musa dan sesudahnya, zaman Nabi Isa dan sesudahnya, zaman Nabi Muhammad
dan sesudahnya. Apalagi pada zaman pergerakan Islam modern seperti saat ini dan
khususnya di Indonesia, kita dapat menyaksikan sejarah kehidupan manusia
diwarnai oleh ulama penerus misi Rasul dan ulama penyesat umat.
Saya menempatkan
orang-orang yang dibina langsung oleh nabi sendiri, kedudukannya dan esensinya
tidak ubahnya seperti ulama bahkan akan lebih alim karena mereka dibina oleh
manusia yang dipelihara kesalahannya. Hal ini saya tegaskan untuk menghindarkan
kesalahpahaman apabila nanti saya mengisahkan kejahatan ulama dengan
menampilkan contoh pengikut-pengikut para Rasul yang tidak meneruskan jejaknya.
Di Indonesia kita
dapat menyaksikan berbagai organisasi ulama; ada organisasi ulama yang
terhimpun pada Majelis Ulama Indonesia, Departemen Agama, GUPPI, PNI, ICMI, dan
Muhammadiyah, yang satu sama lain memiliki kepribadian yang tidak sama, cenderung
kontradiktif. Kalau kita mendudukkan mereka dengan standar Allah dan Rasul-Nya,
niscaya akan mendapatkan adanya ulama warisatul nabi dan ulama yang menentang
warisan para nabi-nabi, yaitu ajaran wahyu. Dari tinjauan secara global dapat
disaksikan bahwa kedudukan ulama ada yang positif dan ada yang negatif.
Tinjauan
Sosiologis
Pengaruh kedudukan
ulama ditengah masyarakat besar sekali, warna kehidupan suatu masyarakat hampir
ditentukan oleh para ilmuwannya. Kita bisa menyaksikan keadaan suatu bangsa pada
sub-sub kehidupannya, misalnya, pada dunia teknologi, komunikasi, sarana
angkutan, seni, olah raga, etika, semua kemajuan dan perkembangannya sangat
ditentukan oleh para ilmuwannya. Di negara-negara yang tingkat peradabannya
sudah maju dan menyadari akan potensi ilmuwan pada suatu kehidupan bangsa,
mereka menempatkan kedudukan para ilmuwannya demikian tinggi. Kita bisa melihat
Indonesia saja. Para mahasiswa dan pelajar yang tingkat pemikirannya cukup
tinggi akan mendapatkan beasiswa tidak hanya didalam negeri bahkan sampai ke
luar negeri. Sedangkan para ilmuwannya yang terdapat didalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat, tidak dibolehkan untuk bekerja, mereka diberi rumah
dengan segala perlengkapannya. Diberi mobil, dengan gaji yang sekarang ini
kurang lebih Rp. 4.000.000 per bulan. Mereka hanya diperintah menekuni dan
mengamaliahkan ilmunya. Pada kehidupan Islam kita dapat melihat Nabi Muhammad
saw dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada mulanya Nabi Muhammad saw bekerja sebagai
penggembala domba, kemudian beliau bekerja sebagai karyawan perdagangan yang
dimiliki oleh Siti Khadijah dan sempat menjadi jutawan yang besar, sehingga
beliau menikahi majikannya yang memiliki areal perdagangan sampai ke Mesir dan
Iran, sepertinya hidup ini adalah untuk bekerja meningkatkan kehidupan
material. Setelah berumur 40 tahun, beliau mulai menghayati kehidupan dan
pembimbing umat memasuki kehidupan yang benar dan meninggalkan kehidupan yang
sesat.
Pekerjaan baru
yang ditempuhnya ini jauh lebih berat dibandingkan dengan pekerjaannya yang
dahulu. Kalau dahulu beliau mencurahkan pikiran dan tenaga untuk mendapatkan
materi, sekarang beliau mencurahkan pikiran dan tenaga bukan memperoleh materi
tetapi harus mengeluarkan materi. Sampai-sampai seluruh hartanya habis dan
beliau meninggal dengan tidak meninggalkan harta, tetapi beliau berhasil
membangun peradaban umat manusia yang tinggi. Contoh kedua, bisa menyaksikan
teguran Umar bin Khathab kepada Abu Bakar, ketika beliau hendak bekerja di
pasar sebagai penjual kain. Kisah itu pada prinsipnya Umar melarang bekerja
dengan alasan beliau sebagai khalifah, yang mengatur dan membimbing umat
manusia, bagaimana dapat menghasilkan kerja yang efektif seseorang yang
tugasnya pembimbing meninggalkan bimbingannya.
Kemudian Umar
merundingkan dengan dua orang sahabatnya, untuk mengupayakan pembiayaan
hidupnya Abu Bakar beserta keluarganya agar Abu Bakar dapat bekerja dengan
penuh waktu dan penuh konsentrasi dalam rangka membangun peradaban umat manusia
yang telah dipimpinnya.
Sudah menjadi persepsi internasional, bahwa
hancurnya suatu masyarakat sangat ditentukan oleh para ilmuwannya. Oleh karena
itu sangat penting bagi umat Islam untuk memelihara dan mengontrol kepribadian
dan kualitas serta kehidupan para ulamanya. Karena apabila mereka sampai
menjual ilmunya kepada orang-orang yang kafir, sehingga mengikuti kemauan
orang-orang yang kafir atau rendah kualitas ilmunya. Hal ini dapat menimbulkan
kejenuhan dan jauhnya umat Islam dari pengetahuan Islam akibatnya seluruh umat
Islam akan mengalami kerugian. Sisi lain yang juga perlu untuk diperhatikan
ialah mental ulamanya sendiri. Tidak sedikit para ulama yang tidak tahan
terhadap ujian duniawi, sehingga mereka tidak segan-segan menjual umatnya demi
kepentingan diri sendiri, akhirnya umat Islamlah yang menjadi korban. Oleh
karena itu idealnya umat Islam memahami dan mengenal kriteria ulama penerus
misi rasul dan ulama penentang misi rasul. Dengan mengenal kriteria tersebut,
umat Islam dapat membuat perbatasan, penempatan diri serta dapat melakukan amar
ma’ruf nahi munkar.
Landasan
Menentapkan Kedudukan Ulama Positif dan Ulama Negatif
Untuk mengetahui
kriteria ulama positif dan ulama negatif, kita harus memiliki pijakan yang
obyektif dan Islami. Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa ulama itu ada
dua macam yaitu ulama Warisastul Anbiya dan ulama Su’.
Melewati Landasan
Umum
Sebagaimana telah
kita ketahui bersama, para nabi setelah wafatnya tidak meninggalkan pangkat,
kedudukan dan harta duniawi, akan tetapi beliau meninggalkan risalah Ketuhanan
yang berupa ilmu pengetahuan dan kepribadian yang tinggi, demikian pula pada
nabi yang terakhir. Pada haji wada’, misalnya, Rasulullah saw telah memesankan
suatu himbauan kepada umatnya, dengan penekanan yang sangat kuat. Himbauan yang
demikian ini dapat disebabkan karena tiga hal, yaitu: pertama, karena
beliau akan meninggalkan umatnya yang dikasihinya; kedua, karena nilai
pesanannya yang demikian tinggi, dan ketiga karena kedua-duanya. Pesan
tersebut adalah sebagai berikut.
Dari Katsir bin
Abdullah dari ayahnya dari datuknya ra, berkata: “Rasulullah saw pernah
bersabda: ‘Aku telah meninggalkan untuk kamu semua dua perkara yang kamu tidak
akan tersesat selama kamu berpegang teguh dengan keduanya, yakni kitab Allah
dan Sunnah Nabi-Nya’.” (HR Ibnu Abd al-Barr).
Dari hadits tersebut
dapat diambil dua pelajaran, pertama, Rasulullah saw meninggalkan atau memberi
warisan kepada umatnya berupa Al-Qur’an dan Al-Hadits, kedua, Rasulullah
memberi petunjuk bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan petunjuk atau dasar
atau landasan kehidupan yang membawa kepada kebenaran.
Melewati Landasan
Kepribadian Rasul SAW dan Nabi-nabi
Pada surat
Al-A’raaf ayat 3 yang berbunyi: Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu, jangan kamu mengikuti pemimpin selainnya amat sedikit kamu yang mengambil
pelajaran, terdapat dua perintah dan satu peringatan. Perintah yang pertama
mengharuskan kepada rasul dan orang-orang yang beriman untuk menjadikan wahyu
sebagai auliya atau dasar, asas, landasan kehidupan dan perintah yang kedua,
Allah memerintahkan untuk tidak menjadikan yang selain wahyu sebagai auliya.
Sedangkan isi peringatannya ialah untuk memikirkan tentang peristiwa-peristiwa
sosial bagi suatu bangsa yang tidak menjadikan wahyu sebagai auliya dan bangsa
yang menjadikan wahyu sebagai auliya.
Di zaman
prasejarah kita bisa melihat kekuasaan Namrudz, Fir’aun, Jallut yang telah
dihancurkan oleh Allah. Warisan etika yang ditinggalkan kepada umat sesudahnya
ialah raja yang diktator, penghisap rakyat, memperkosa hak asasi manusia,
penyebar kemaksiatan dan sumber penyakit. Sedangkan bagi mereka yang menjadikan
wahyu sebagai petunjuk, seperti Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Ibrahim, Nabi
Isa, dan Nabi Muhammad saw, telah meninggalkan peradaban etika yang tinggi.
Umat yang ditinggalkan memandang mereka sebagai penegak hak asasi manusia,
pembimbing umat ke jalan yang benar, pembawa rahmat dan sebagai pemimpin yang
perlu diteladani. Untuk memudahkan perbandingan tentang kualitas mereka yang
menjadikan wahyu sebagai pemimpin dengan mereka yang tidak menjadikan wahyu
sebagai pemimpin dapat menyaksikan individu-individu disekitar kita, bagaimana
mereka dalam berbicara, memandang seks, dalam memandang harga diri dan etika
atau bangsa-bangsa yang berada disekitar kita, bagaimana suatu bangsa yang
tidak menjadikan wahyu sebagai petunjuk dengan bangsa yang menjadikan wahyu
sebagai petunjuk.
Insya Allah dengan
pemikiran yang jernih, akan dapat menetapkan kualitasnya. Semua nabi-nabi
senantiasa menjadikan wahyu sebagai petunjuk kehidupan dan mengajak masyarakat
untuk menjadikan wahyu sebagai petunjuk. Dari landasan ini dapat disimpulkan
bahwa ulama yang warisatul anbiya’ pasti menjadikan wahyu sebagai petunjuk bagi
dirinya dan mengajak masyarakat untuk bersandar kepada wahyu. Sebaliknya ulama
yang tidak mewarisi pribadi dan misi rasul, mereka tidak mau menjadikan wahyu
sebagai petunjuk, dan mengajak masyarakat untuk berpetunjuk kepada selain
wahyu.
Rasulullah saw
tidak hanya menjadikan dan mengajak masyarakat menjadikan wahyu sebagai
petunjuk akan tetapi mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mengamaliahkan
petunjuk wahyu tersebut pada kehidupan sehari-hari. Ada empat kepribadian
Rasulullah yang penting untuk dapat dijadikan landasan penilaian menetapkan
kualitas ulama, yaitu:
Kepribadian
Rasulullah saw dalam menegakkan kasih sayang terhadap sesama saudaranya.
Kepribadian
Rasulullah saw dalam menegakkan sikap terhadap orang-orang yang memusuhi Islam.
Kepribadian
Rasulullah saw dalam memandang kedudukan, dan harta kehidupan duniawi.
Kepribadian
Rasululllah saw dalam menegakkan dan memperjuangkan syariat Islam
Ikatan kasih
sayang antara umat Islam demikian indahnya sampai digambarkan seperti ikatan
tubuh. Apabila ada sebagian tubuh yang sakit maka bagian tubuh yang lainnya
akan ikut merasakan, dan seperti bangunan yang satu sama lain saling
menguatkan. Tidak hanya manusia yang mengagumi ikatan kasih sayang yang
dijalankan Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya, bahkan Allah sendiri sangat
mengagumi dan menunjukkan simpatinya melalui malaikat Jibril yang dalam bentuk
wahyu pada dua peristiwa. Yaitu tatkala Rasulullah saw bersumpah dengan
sahabat-sahabatnya dibawah pohon untuk melakukan tindak pembelaan atas kematian
Ustman yang diperkirakan dibunuh oleh orang-orang kafir Quraisy, walaupun
mereka harus memasuki sarang singa tanpa kekuatan senjata. Penghormatan Allah
terhadap mereka tertulis di Al-Qur’an surat Al-Fath ayat 9-10. Dan sambutan dan
perlakuan orang-orang Anshar terhadap Muhajirin, pujian Allah terhadap mereka
diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 9-10.
Dalam menempatkan
orang-orang yang memusuhi Islam sebagai musuh, dapat dipelajari pada sikap Nabi
Ibrahim terhadap ayahnya, nabi Nuh terhadap anaknya, dan Nabi Muhammad saw
terhadap keluarganya, serta peperangan-peperangan yang dilakukan oleh nabi dan
sahabat-sahabatnya dengan orang-orang kafir Quraisy pada kenyataannya adalah
perang sesama keluarga. Bahkan Abu Bakar dengan penuh kesadaran ingin membunuh
ayahnya sendiri ketika terjadi perang Uhud. Dalam syariat Islam kecintaan
kepada Allah dan Rasul melebihi dari segalanya (QS 9:24).
Tentang pangkat
yang berisi sifat-sifat kekafiran, kefeodalan dan keningratan yang memisahkan
dan memberikan batasan-batasan manusia dan tidak dari ilmu dan kepribadiannya
melainkan pada harta dan rasa kebangsaannya serta berisi sifat-sifat
pengkultusan. Dalam hal ini Rasul Allah sangat menentangnya. Pernah suatu saat
para sahabat rasul duduk berkerumun pada suatu tempat, tiba-tiba Rasulullah saw
mendatangi mereka, dengan serentak mereka berdiri, maksudnya untuk memberi
hormat. Rasulullah sangat marah, beliau menyatakan bahwa beliau adalah seorang
nabi bukan seorang raja. Dalam hal melakukan perbincangan dengan
sahabat-sahabatnya, Rasulullah tidak pernah membedakan posisinya diantara
mereka, sehingga pernah seorang asing yang akan menemui rasul, sangat heran
melihat situasi yang seperti itu. Pendatang tersebut sampai menanyakan mana
diantara yang berkumpul itu yang menjadi utusan Allah. Demikian rendah hatinya
sifat utusan Allah tersebut terhadap sahabat-sahabatnya, sehingga pernah ada seorang
sahabatnya yang ada penyakit didalam hatinya memperlakukan kerendahhatian sifat
Rasulullah yang sedemikian rupa ini, lalu ia mempermainkan dan bersikap
main-main terhadap rasul. Sehingga Allah menegurnya melalui wahyu. Perlu disini
saya tegaskan untuk menghindari kesalahpahaman, bahwa Islam tidak melarang
pengikutnya untuk menduduki kedudukan-kedudukan penting pada suatu aktivitas,
melainkan yang dilarang oleh Islam ialah kedudukan yang didalamnya berisi
sifat-sifat kekafiran dan mendukung kekafiran.
Prinsip Rasulullah
saw tentang hartadapat dimengerti dari dua penyataannya. Yaitu: kemiskinan
seorang muslim dapat memudahkan seorang melakukan kekafiran,dan yang
ditakuti pada umatku bukan karena miskinnya melainkan mereka berada pada
kemegahan. Kemiskinan dan kemegahan adalah dua keadaan yang dapat membuat
manusia melupakan diri kepada kehidupan akhirat apabila umat Islam tidak
memiliki keimanan yang tangguh. Kekayaan bagi Rasulullah adalah alat untuk
mencapai keridhaan Allah. Hal ini dapat dibuktikan dari sejarah, dimana beliau
sebelum mendapatkan wahyu, dan diperintah untuk menyampaikan dan menegakkannya,
seluruh hartanya menjadi sirna. Demikian pula yang terjadi pada
sahabat-sahabatnya, seperti Abu Bakar dan Utsman bin Affan misalnya, dahulunya
mereka adalah orang-orang yang kaya, setelah mengenal Islam mereka menjadi
miskin, sebagian besar hartanya dipertaruhkan benar-benar pada jalan Allah.
Disini perlu kami
sampaikan bahwa kemiskinan dan kesusahan yang dialami oleh nabi dan
sahabat-sahabatnya itu bukan menjadi tujuan hidupnya atau mereka senang
terhadap kemiskinan, melainkan penderitaan dan kemiskinan yang dikorbankan pada
jalan Allah bagi pandangan mereka adalah alat untuk mendapatkan kebahagiaan.
Jadi Islam tidak mengajarkan kepada hambanya untuk mengabdi kepada Allah dengan
segala yang dimilikinya. Oleh karena itu kemiskinan yang diakibatkan oleh
perjuangan menegakkan kalimatullah merupakan suatu kemuliaan. Apa yang dilarang
ialah menjadikan kemiskinan sebagai tujuan kehidupan, seperti yang diajarkan oleh
agama Hindu dan kepercayaan tertentu. sebaliknya Islam tidak mengajarkan
hambanya untuk menjadi kaya, atau menjadikan kekayaan sebagai tujuan hidup
tanpa memperhatikan lingkungan yang ada atau memperhatikan keadaan umat Islam
apakah tengah dijajah atau tidak, sehingga berprinsip hidup menjadi kaya. Islam
memperbolehkan hambanya menikmati kekayaan dengan syarat yang sudah ditentukan,
dan umat Islam dalam keadaan mereka, dan tidak tertindas. Kalau mereka seorang
muslim yang mengikuti ajaran rasul, bagaimana mereka dapat enak menikmati
kehidupan sementara saudaranya mengalami penderitaan yang sangat. Dalam sebuah
hadits dikatakan tidak masuk surga seorang muslim yang membiarkan tetangganya
mati dalam kelaparan.
Nilai usaha dan
perilaku Rasulullah saw dalam menegakkan dan memperjuangkan syariat Islam dapat
dibuktikan dengan penderitaannya yang sedemikian rupa sehingga seluruh hartanya
habis, anak-anaknya diceraikan dari para suaminya, sahabat-sahabatnya dibunuh.
Sampai melakukan hijrah dan perang. Hidup bagi rasul adalah menegakkan syariat
Islam. Pernah beliau ditawari oleh orang-orang kafir untuk berhenti menegakkan
kalimatullah dengan segala fasilitas kehidupannya akan dipenuhi secara
istimewa. Akan disediakan untuk beliau beberapa wanita cantik yang terdapat di
jazirah Arab, disediakan kedudukan yang tinggi dan harta yang berlimpah. Dengan
sikap yang pasti beliau berkata: “Andaikata (orang-orang kafir) dapat
memberikan bulan ditangan kiriku dan matahari ditangan kananku niscaya aku akan
menolaknya”.
Perjuangan
menegakkan kalimatullah bagi rasul merupakan suatu keharusan yang tidak bisa
ditinggalkan. Ia ibarat sumber kehidupan baginya, tertinggal berarti
kematiannya. Itulah empat kepribadian Rasulullah yang tidak pernah terpisahkan
darinya.
Dari landasan
kepribadian rasul diatas insya Allah dapat djadikan tolok ukur yang obyektif
dalam rangka menentukan ulama yang meneruskan misi rasul dan ulama su’, yaitu
ulama yang tidak mengikuti bahkan menentang sunnah Rasul. Pada prinsipnya
seorang ulama yang aktivitas dan kepribadiannya sama dengan empat kepribadian
rasul diatas berarti beliau adalah ulama pewaris para nabi, sebaliknya apabila
bertentangan dengan kepribadian diatas maka mereka adalah ulama su’. Dapat
dicontohkan pada kasus-kasus yang ada, bagaimana penampilan ulama yang
menjadikan wahyu sebagai dasar dan menampilkan ulama yang sudah tidak
menjadikan wahyu sebagai dasar dan senantiasa mengajak masyarakat untuk
berdasar selain wahyu. Mana ulama yang demikian mengasihi terhadap sesama
muslim dan memusuhi terhadap yang memusuhi Islam dan mana ulama yang memusuhi
umat Islam yang teguh melaksanakan syariat Islam dan berkasih sayang terhadap
yang memusuhi umat Islam. Mana ulama yang benar-benar menumpahkan kehidupannya
untuk perjuangan melaksanakan syariat Islam sampai banyak merasakan penderitaan
kehidupan dan mana ulama yang hanya menjadikan Islam sebagai alat untuk
mendapat kedudukan dan untuk mendapatkan harta.
Melewati Tinjauan
Hadits-hadits Hukum
Untuk mengetahui
ulama pewaris misi rasul dan ulama su’ lewat landasan hadits-hadits hukum dapat
dilihat pada permasalahan meninjau kedudukan ulama menurut tinjauan dalil.
Selanjutnya saya akan meninjau kedudukan ulama warisatul anbiya dan ulama su’
dalam hubungannya dengan para penguasa. Saya jadikan hubungan ulama dan umara’
sebagai dasar untuk menetapkan ulama warisatul anbiya dan ulama su’ disebabkan
banyaknya dalil-dalil yang membicarakan masalah tersebut. Dalil-dalil itu
antara lain :
Akan datang
dikemudian hari setelah saya beberapa pemerintah (umara’) yang berdusta dan
berbuat aniaya. Maka barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka dan
menolong tindakan mereka yang aniaya itu, ia bukan termasuk dari umatku, dan
bukanlah aku daripadanya dan ia tidak dapat datang diatas telaga (yang ada di
sorga). (HR. Nasa’i, Tirmidzi, Hakim dari Ka’ab bin Ujrah)
Mengenai bentuk
pemerintah yang berbuat dusta dan aniaya, diterangkan pada hadits dibawah ini:
“Mudah-mudahan
Allah melindungi engkau dari (akibat) para pemegang pemerintah yang jahat
perangai”. Ka’ab bin Ujrah bertanya, “Bagaimana pemegang pemerintah yang jahat
perangai itu?” Jawab Rasulullah saw : “Yaitu para amir (pemegang pemerintahan)
yang akan ada pada zaman setelah aku yang mana mereka itu tidak mengambil
petunjuk pada petunjukku dan tidak sama dalam mengikuti sunnahku. Maka barang
siapa yang membenarkan kedustaan mereka dan membantu kedholiman mereka,
orang-orang itu bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongan mereka dan
orang-orang itu tidak akan datang ke telagaku. Dan barang siapa yang tidak
membenarkan kedustaan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka, orang-orang
itu dari golonganku dan aku dari golongan mereka dan mereka akan datang ke
telagaku. (HR. Nasa’i, Tirmidzi, Hakim, dari Ka’ab bin Ujrah)
Sejelek-jelek
ulama adalah mereka yang datang kepada para pejabat pemerintahan. (HR.
Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra)
Ulama itu pemegang
amanah rasul selama tidak mencampuri urusan raja dan tidak memasuki keduniaan.
Maka apabila mereka telah mencampuri kekuasaan-kekuasaan penguasa dan memasuki
keduniaan, maka sesungguhnya mereka telah mengkhianati para rasul, maka dari
itu hendaklah kamu semua takut akan (mendekati) mereka. Dan
pada riwayat lain disebutkan, maka dari itu menyingkirlah kami semua dari
mereka. (Hadits hasan riwayat Al-Baihaqi dan Al-Uqaili dari Anas ra)
Yang dimaksud
dengan mencampuri urusan kekuasaan raja ialah ulama yang terlibat kerjasama,
toleransi, dan bahu-membahu dalam kesesatan penguasa, akan tetapi apabila para
ulama bekerja sama dengan penguasa yang Islami dan berjalan pada jalan yang
benar, maka hal itu tentu diperbolehkan, bukanlah para nabi dan sahabat-sahabat
rasul juga tidak sedikit menjadi penguasa?
Sedangkan yang
dimaksud mencampuri urusan keduniaan ialah ulama yang memotivasi dan
orientasinya pada keduniaan sedangkan potensi yang digunakan adalah ayat-ayat
Allah. Menurut akal yang sederhana saja, saya kira dapat diterima pendapat
bahwa suatu ketetapan yang tidak mengikuti Allah dan Rasul-Nya pasti akan
membawa kepada kehancuran. Bagaimana mungkin bahwa seorang ulama yang memiliki
keilmuan lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya, yang sewajarnya melakukan
amar ma’ruf kepada penguasa yang demikian itu, malahan bersekutu,
tolong-menolong dalam kesesatan. Sungguh terkutuklah ulama yang seperti itu,
khususnya terhadap mereka yang telah disesatkannya. Penggambaran kemarahan
mereka telah dituangkan Allah pada surat Al-Ahzab ayat 66-68.
Penegasan
dilakukan ini untuk memberikan kewaspadaan kepada hamba-hamba Allah yang awam
untuk berhati-hati terhadap perilaku pemimpin atau ulama, sekaligus Allah
memberi petunjuk secara implisit agar supaya umat Islam pada umumnya giat
menuntut ilmu, karena hanya yang berilmulah yang mengetahui kejahatan ulama.
Seperti halnya dokter yang mengetahui kejahatan dokter, yang mengetahui
kejahatan arsitek adalah arsitek.
Jadi ulama su’
ialah ulama yang terlibat pada urusan kekuasaan penguasa yang tidak menjadikan
sunnah Rasul sebagai petunjuknya, sedangkan ulama warisatul anbiya’ ialah ulama
yang tidak melibatkan diri kepada kekuasaan penguasa yang sudah diketahui bahwa
penguasa tersebut tidak menjadikan sunnah Rasul sebagai petunjuk. Hubungan
mereka seperti para nabi terhadap penguasa yang zalim, seperti Nabi Ibrahim
terhadap raja Namrudz atau Nabi Musa terhadap Fir’aun, dan Nabi Muhammad saw
terhadap penguasa Quraisy.
Imam Abu Hanifah
adalah figur ulama yang dapat dijadikan barometer sebagai ulama yang warisatul
anbiya’ dalam menjalin hubungannya dengan penguasa yang ada saat itu. Beliau
adalah seorang alim yang besar dan seorang yang benar-benar menjunjung tinggi
nilai ketakwaan kepada Allah. Beliau lahir dikota Kufah tahun 80 Hijriyah (699
M). Walaupun beliau bukan bangsa Arab, namun dari kalangan ajam,
ditengah-tengah bangsa Persia. Pada usia 50 tahun beliau ditangkap oleh
gubernur Irak, Yazid bin Amir bin Hurairah Al-Fazzary, selaku wakil dari
khalifah Bani Umayyah yang Marwan bin Muhammad (Khalifah Bani Umayyah ke-14).
Beliau dijatuhi
hukuman cambuk sebanyak 110 kali karena menolak tawaran gubernur untuk menjadi
hakim (qadhi) dan kepada urusan perbendaharaan negara. Penolakan ini tentu
didasari oleh penilaian beliau terhadap sistem pemerintahan yang dijalankan
oleh gubernur Irak yang menurut beliau tidak Islami lagi, sehingga beliau yakin
akan dijadikan alat saja oleh pemerintahan yang tidak menjunjung nilai-nilai
ketakwaan itu. Sampai beliau berikrar: “Demi Allah! Aku tidak menerima
jabatan yang ditawarkan kepadaku, walaupun aku dibunuh”.
Pada zaman
kekhalifahan Bani Abbasiyah, yakni pada saat pemerintahannya dipegang oleh Abu
Ja’far Al-Manshur, khalifah yang ke-2, Abu Hanifah pernah ditawari oleh
Al-Mansur untuk menjadi seorang hakim, akan tetapi tawaran tersebut ditolak
oleh Abu Hanifah, karena beliau takut kalau tidak bisa menjaga kesucian agama
pada pribadinya. Latar belakang penolakan tersebut karena fatwa-fatwa yang
beliau keluarkan sering bertentangan dengan fatwa yang dikeluarkan mufti
kerajaan yang resmi, yang pada waktu itu dijabat oleh Imam Ibnu Abu Laila. Imam
ini memegang jabatan qadhi sejak khalifah Abul Abbas Al-Shaffah (khalifah yang
pertama). Karena fatwa Imam Abu Hanifah sering menyalahi fatwa resmi, maka
beliau pernah dilarang memberi fatwa kepada orang ramai oleh pihak pemerintah
bahkan para ulama banyak yang takut dekat-dekat dengan beliau karena khawatir
kalau-kalau dituduh pro dan bersahabat karib dengan beliau, karena beliau
dituduh orang yang berbahaya.
Pada suatu hari,
beliau disuruh menghadap khalifah lagi, diantaranya juga kaum Sufyan Al-Tsauri
dan Imam Syarik Al-Nakha’y, kemudian sang khalifah memerintahkan “Imam
Sofyan Al-Tsauri, engkau saya tetapkan menjadi qadhi di kota Bashrah dan Imam
Syarik, engkau saya tetapkan menjadi qadhy di kota Baghdad dan Imam Abu
Hanifah, engkau saya tetapkan menjadi qadhi qudhat kerajaan, berangkatlah
sekarang juga ke tempat tugas masing-masing. Barangsiapa yang menolak akan
mendapat hukuman seratus kali dera.”.
Imam al-Tsauri
melarikan diri ke Yaman, Imam Syarik menerima jabatan dari kholifah, dan Imam
Abu Hanifah tidak mau menerima tetapi juga tidak mau melarikan diri. Maka
beliau dijebloskan ke dalam penjara lagi. Leher beliau dirantai dengan besi
yang berat. Pada setiap pagi hari didera dengan cemeti sampai badan dan muka
beliau berdarah. Namun pendirian beliau tidak beranjak dari semula. Karena
kehabisan akal, Khalifah Al-Mansur mendatangkan ibunya agar sudi membujuk
beliau, supaya mau menerima jabatan yang diberikan khalifah. Ibunya Imam Abu
Hanifah yang tua renta berjalan dengan merunduk-runduk ke dalam penjara dan
berkata, “Wahai anakku yang tercinta, mengapa ilmu yang kau miliki membawamu
menjadi bencana yang menyebabkan engkau ditahan, dicambuk dan dirantai lehermu
dengan kalung besi, oleh karena itu buang sajalah ilmumu itu”.
Permintaan ibunya
untuk menuruti kehendak khalifah disambut dengan tegas oleh Abu Hanifah: “Ibuku
jika saya menghendaki kemewahan harta dunia tentunya tidak dipukuli, tetapi
saya menghendaki keridhaan Allah. Saya tidak akan memalingkan ilmu yang saya
miliki ini, karena saya takut menjadi yang terkena kutuk dan siksa Allah”,
akhirnya ibunya pun gagal untuk membujuknya. Sebagai upaya yang terakhir,
Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur, melakukan perbuatan yang keji. Khalifah memaksa
Imam Abu Hanifah untuk meminum racun sampai beliau meninggal dipenjara.
Sebenarnya masih
banyak contoh ulama warisatul anbiya yang memiliki kualitas seperti Imam Malik,
Imam Syafii, Imam Hambali, Ibnu Taimiyah, Abdul Qodir Audah, Sayid Qutub, dan
lain sebagainya.
Untuk lebih
mendalam kualitas Imam Abu Hanifah dan pokok permasalahan yang ada, perlu
dijelaskan bahwa Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur merupakan khalifah yang
mendasarkan syariat Islam sebagai dasar pemerintahannya. Akan tetapi khalifah
tidak begitu konsisten dan dalam hal-hal tertentu, mempunyai pandangan yang
sepertinya tidak menurut ketentuan-ketentuan Islam. Khalifah yang seperti ini
saja oleh Abu Hanifah telah ditentang sedemikian rupa, apalagi terhadap sistem
kekhalifahan yang tidak menggunakan ketentuan-ketentuan Islam sebagai dasarnya,
tentunya penentangannya akan jauh lebih keras. Kriteria ini saya angkat
sehubungan dengan kesalahpahaman orang-orang tentang hubungan ulama dengan
pemerintahan tanpa lebih dahulu memahami kedudukan pemerintahan yang ada,
apakah mereka menggunakan ketentuan-ketentuan Islam sebagai dasar atau yang
selainnya. Saya tidak menutup pemahaman tentang kebolehan ulama bekerja pada
pemerintahan yang ada, selama dasar dan aktivitas-aktivitas yang ada mengajak
untuk bertakwa kepada Allah dan mengikuti jejak rasul-Nya. Seperti, misalnya,
pada masa pemerintahan Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad saw dan
sahabat-sahabatnya.
Apabila suatu
umara’ yang tidak menjadikan ketentuan-ketentuan Allah menjadi sendi-sendi
kehidupan, maka tidak ada kerja sama lagi antara ulama dan umara’. Kerja sama
itu hanya menciptakan kelestarian kekafiran saja. Sedangkan orang-orang yang
membolehkan kerja sama dengan umara’ dengan dalil adanya para ulama yang saleh
bekerja pada umara’. Menurut pendapat saya, mereka hanya melihat ulama saleh
bekerja pada pemerintahan, akan tetapi mereka tidak melihat sistem yang
digunakan pada pemerintahan tersebut. Ulama saleh yang mau bekerja dan
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar pada suatu pemerintahan dikarenakan dasar
yang digunakan membangun masyarakatnya adalah dasar Islam. Saya percaya
andaikata dasar yang digunakan pada pemerintahan itu bukan Islam niscaya tidak
akan mau bekerja pada pemerintahan yang seperti itu.
Tinjauan Para
Ulama yang Masyhur Kesalehan dan Kealimannya
Tinjauan Imam
Al-Ghazali
Imam Ghazali
membagi ulama ke dalam tiga kriteria. Pembagian ini termaktub dalam kitabnya
yang berjudul Al-Imlaa’, yaitu:
Ulama Hujjah,
Ulama Hajjaj, dan
Ulama Mahjuj
Ulama Hujjah ialah
ulama yang alim mengerti benar tentang Allah dan mengerti benar tentang
perintah dan larangan, serta berupaya untuk mengalamiahkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Ulama ini tidak gila harta, amat khusyu’ dan tawadhu’, selalu
menjaga diri dari perbuatan yang kurang bermanfaat. Mereka juga sangat wara’
dan tidak serampangan dalam menetapkan hukum.
Ulama Hajjaj ialah
ulama yang selalu siap sedia menegakkan alasan yang kokoh dalam masalah
hukum-hukum keagamaan dan dalam memadamkan api bid’ah. Ulama ini selalu
membisukan para tukang bicara dan mendiamkan para tukang membuat kedustaan
dalam agama. Karena segala alasan yang dikemukan amat jelas, gamblang dan
sangat hebat hafalannya, maka orang yang bertentangan sulit untuk membantahnya.
Ulama yang ketiga
ialah ulama Mahjuj, ulama ini mengerti hukum-hukum Allah dan rasul-Nya,
tentang perintah dan larangan-Nya, dan tentang ayat-ayat-Nya. Tetapi ulama ini
tidak mau takwa kepada Allah, amat tamak kepada harta dunia, sehingga jauh dari
keberkahan ilmunya, amat cinta kedudukan dan ketinggian pangkat, serta takut
kalau jatuh dari kedudukannya yang telah dijabatnya. Perangai ulama ini sangat
tidak menghargai nikmat-nikmat Allah, tidak ada rasa hormat dan menghargai
terhadap kekasih Allah, suka bersahabat dengan orang-orang bodoh yang jahil
tentang agama Allah. Maka hidupnya dikelilingi dan berkerumun dengan
orang-orang yang tidak mengerti agama dan tidak taat kepada Allah. Ia merasa
megah dan bangga bila bertemu dengan raja atau penguasa, busung dadanya bila
berdampingan dan bergandengan dengan raja atau pembesar negara atau kepala para
pembesar negara lainnya seperti hakimnya, menterinya dan ajudan-ajudan raja.
Itulah ulama mahjuj yang membinasakan dirinya sendiri dengan menerjunkan
dirinya ke dalam urusan yang dilarang Allah. Ia tidak mendapat manfaatnya dari
ilmunya, lagi pula ia dapat membinasakan orang lain yang menjadi pengikutnya.
Tinjauan Sayid
Jamaluddin Al-Afghani
Menurut Sayid
Jamaluddin Al-Afghani, ulama adalah pusaka para yang sanggup berjuang
menegakkan cita-cita. Sanggup berkata: “hentikan kelalimanmu!” dihadapan
raja. Ulama harus sadar bahwa kedudukannya adalah pemimpin umat, keadaan umat
sangat tergantung kepadanya, bukan membujuk umat supaya takluk kepada pihak
kekuasaan. Ulama harus insyaf bahwa pihak kekuasaan adalah penguasa lahiriah,
sedangkan ulama adalah penguasa batin yang menentukan nasib umat. Ulama harus
tegak ditengah umat, bukan bertahta diatas mahligai gading.
Tinjauan Sayid
Muhammad Rasyid Ridha
Sayid Muhammad
Rasyid Ridha mengatakan bahwa sesungguhnya tidak ada kebiasaan yang lebih
berbahaya bagi agama dan lebih menyia-nyiakan Al-Qur’an dan melemparkan
Al-Qur’an ke belakang panggung serta menukarnya dengan harga yang sedikit
daripada menjadikan rejeki para ulama dan kedudukan mereka ditangan para
pemegang pemerintahan. Katanya,
Saya tidak habis
mengerti, jika ilmu dan penghidupan para ulama itu sudah ditangan kekuasaan
para penguasa, tentulah dapat dipastikan akan menjadi rantai emas yang
membelenggu leher fatwa para ulama, kemudian para penguasa itu menuntun rakyat
dengan perantaraan fatwa para ulama. Oleh karena itu hendaklah para ulama
bertindak bebas dari segala pengaruh yang akan menjadikan para ulama itu
menggantungkan penghidupannya ditangan penguasa, sehingga dengan terpaksa ulama
kemudian memutarbalikkan kebenaran agama sesuai yang dikehendaki penguasa.
Sesungguhnya para
salaf dahulu melarikan diri dari duduk disamping raja. Mereka tidak suka duduk
disamping penguasa yang berbuat aniaya. Mereka bergegas melarikan diri dari
keadaan yang demikian, melebihi daripada larinya dari gigitan ular dan
kalajengking yang berbisa, hal itu karena para ulama salaf menyadari akan
bahaya atas mereka bila mereka telah mempunyai kedudukan disisi raja yang
zalim.
Tinjauan Prof. Dr.
Abdul Qodir Audah
Beliau adalah
seorang mujahid Islam yang menemui syahidnya diatas tiang gantungan oleh rejim
Jamal Abdul Nasser. Beliau menyatakan didalam bukunya yang berjudul Al
Islamu baina jahli abnaihi wa Azji Ulama’ihi, bahwa: “Al-Islam dan umat
Islam akan dapat hancur dengan sebab perbuatan ulama yang tidak bertanggung
jawab dan akibat ulama yang berdiam diri terhadap kebodohan umat.
Pendapat dan
pandangan beliau tentang ulama dan tanggung jawabnya terhadap Al-Islam dan umat
Islam ialah para ulama Islam memikul dosa dari bencana yang menimpa umat Islam,
dosa kaum penjajah dan dosa dari akibat umat yang dalam keadaan terjajah, dosa
pemangku hukum serta pemerintah, dosa rakyat yang tidak mengetahui Islam dan
memikul dosa orang-orang yang menentang Islam. Sebabnya karena para ulama
bungkam melihat dan menyaksikan umat dijajah, bungkam menyaksikan umat Islam
tidak mengetahui hukum-hukum Islam dan berdiam diri melihat tujuan-tujuan Islam
diabaikan. Para ulama tidak menerangkan hukum Islam tentang penjajahan dan
tidak menjelaskan bagaimana hukumnya pemerintah yang membantu kaum penjajah,
sehingga Islam tersia-sia akibat dari bungkamnya ulama itu. Dengan demikian
maka para ulama itu “memberikan tabir” antara umat Islam dengan agama Islam.
Ulama yang tidur untuk melalaikan usaha menegakkan Islam, tentulah umat yang
ada dibelakang para ulama itu juga ikut pula tertidur.
Ulama-ulama tidur
dari usaha menegakkan Islam dari masa yang cukup lama mereka tidak pernah
menghantam serangkaian undang-undang dari kumpulan positif yang bertentangan
dengan hukum Islam dan bahkan mencoba hendak membekukan suatu peraturan yang
berlawanan dengan peraturan-peraturannya. Mereka tidak pernah mengajukan
tuntutan supaya kembali kepada hukum-hukum Islam. Apabila para pemangku hukum
sudah banyak melakukan kezaliman, menghalalkan larangan-larangan Allah,
menumpahkan darah, meruntuhkan kehormatan diri, memperbuat berbagai macam kerusakan
dan melanggar batas-batas hukum Allah. Tetapi para ulama tidak bangkit bergerak
dan tidak marah terhadap penghalalan larangan-larangan agama. Seolah-olah Islam
tidak meminta sesuatu apapun dari mereka, tidak melakukan untuk melakukan amar
ma’ruf nahi munkar dan seolah-olah tidak mewajibkan mereka menasehati
pemangku-pemangku hukum agar kembali kepada hukum Islam. Amat disesalkan karena
para ulama itu sendiri bahkan menolong para pelanggar hukum. Kelangsungan hukum-hukum positif yang
bertentangan dengan hukum Islam mengakibatkan tersudutnya pelaksanaan hukum
Islam. Suatu hal yang menyedihkan, apa yang dilakukan para ulama dianggap oleh
masyarakat Islam sebagai Islam yang sejati, sehingga semakin kuatlah posisi
kezaliman yang sudah dianggap sebagai kebenaran.
Tinjauan Umar
Hasyim
Umar Hasyim
membagi ulama su’ ada lima macam yaitu :
Ulama yang memberi
fatwa sesat,
Ulama yang
membangun dinding fanatisme,
Ulama yang
penyebar fitnah,
Ulama penjilat,
dan
Ulama yang rusak
moralnya.
Ulama pemberi
fatwa sesat ialah ulama yang lebih mementingkan kebutuhan pribadinya, sehingga
mereka menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu disampaikan,
menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu disampaikan, menyembunyikan
sesuatu yang seharusnya disampaikan, yang benar dikatakan salah, yang salah
dikatakan sebagai kebenaran, mereka membolak-balikkan masalah yang primer dan
sekunder.
Ulama yang
membangun dinding fanatisme ialah ulama yang memberikan fatwa-fatwa tentang
masalah kebenaran dan kebatilan tidak melewati tinjauan yang Islami, obyektif
dan universal. Standar kebenaran dan kesalahan diletakkan pada
kelompok-kelompok tertentu atau pada figur-figur personal. Ciri khas ulama
seperti ini seruan tidak kepada Islamnya melainkan kepada golongannya, orang
lain yang bukan golongannya sepertinya bukan orang Islam. Apabila Islam diejek
oleh orang-orang kafir mereka tidak tersinggung, akan tetapi apabila yang
disinggung itu golongannya mereka mempertahankan dan mengadakan pembelaan
mati-matian.
Ulama penyebar
fitnah ialah ulama yang mengada-adakan hukum atau permasalahan untuk membuat
keresahan umat dengan tujuan-tujuan yang tidak baik. Fitnah yang disebarkan
banyak didasari oleh rasa fanatisme ashobiyah serta rasa kedengkian terhadap
paham yang dipandang menjadi saingannya. Fitnah para ulama ini banyak terjadi
pada saat pemilihan umum. Ulama-ulama yang terdapat pada masing-masing golongan
saling membaikkan golongannya sendiri dan menjatuhkan para ulama yang terdapat
pada golongan lain, bahkan pada pemilu tahun 1987 saat Nahdhatul Ulama
mengeluarkan khitahnya untuk meninggalkan partai politik, dengan dipelopori
oleh Abdurrahman Wahid melakukan kampanye untuk menyerukan umat Islam di
Indonesia agar tidak memilih PPP, secara implisit mereka menyeru umat Islam
untuk memilih Golkar, yang kemudian Abdurrahman Wahid sendiri memasuki
keanggotaan MPR dari Fraksi Karya Pembangunan.
Untuk mengetahui
suatu fatwa yang berisi fitnah atau yang berisi amar ma’ruf dapat diketahui
dari persoalan yang diangkat; kalau sifatnya hanya pada hal-hal yang berkenaan
dengan golongan, kedudukan dan kecemburuan sosial dapat dipastikan bahwa fatwa
yang dikemukakan mengandung nilai fitnah, apabila persoalan yang diangkatnya
berkenaan dengan nilai-nilai benar dan salah, akibat-akibat positif dan negatif
yang jauh dari masalah golongan dan kedudukan hampir dapat dipastikan
fatwa-fatwa yang dikeluarkan berkenaan dengan masalah itu mengandung nilai amar
ma’ruf nahi munkar.
Standar fitnah ini
kalau dikasuskan sangat sulit penetapannya, semua orang mempunyai hak untuk
menetapkan orang lain sebagai pemfitnah dengan standar yang dibuatnya sendiri.
Maka untuk memudahkan pemisahan antara fatwa yang berisi fitnah dan amar ma’ruf
dapat diukur obyektifitas standarnya dan kebenaran peristiwa yang diangkatnya
serta tujuan pengangkatan masalah tersebut. Apabila semuanya berkualitas
obyektif maka dapat dikatakan sebagai amar ma’ruf, apabila sebaliknya maka
dapat dikatakan sebagai fitnah.
Ulama tukang jilat
ialah
ulama yang suka membesar-besarkan dirinya atau kelompoknya yang
menjelek-jelekkan kelompok lainnya kepada penguasa dengan tujuan untuk
mendapatkan berbagai fasilitas. Sekarang ini saya sering mendengar berbagai
organisasi yang memuji-muji kepada penguasa dengan tujuan untuk mendapatkan
kedudukan atau fasilitas tertentu. Pada zaman Orde Lama tidak sedikit ulama
yang membesar-besarkan Bung Karno. Bahkan Universitas Muhammadiyah telah
memberikan gelar Doktor Honoris Causa bidang Tauhid kepadanya. Sedangkan partai
NU memberikan gelar Wali al-Amri Dharuri bi al-Syawkah, yang arti harfiyahnya
ialah pelindung atau orang yang bertugas mengurusi.
Pada masa Orde
Baru setelah asas tunggal yang diberangkatkan lewat UU No. 8 tahun 1985
diundangkan, antara NU dan Muhammadiyah saling menunjukkan perannya bahwa
mereka adalah yang paling dominan mengoalkan program asas tunggal. NU
mengatakan bahwa mereka telah melakukan perubahan asasnya pada Anggaran
Dasarnya menjadi Pancasila sebelum UU tersebut diundangkan. Kemudian
Muhammadiyah mengatakan bahwa mereka mempunyai andil 80% atas UU No. 8 tahun
1985, bahwa keterlibatan Muhammadiyah dalam proses pembuatan UU tersebut jauh
sebelum UU tersebut diundangkan.
Kemudian menyusul
kelompok Hidayatullah, yang dipimpin oleh Abdullah Said. Pada buletin informasi
Pondok Pesantren Hidayatullah Edisi no. 17 yang cover depannya berjudul Dampak
Teknologi, Abdullah Said menyatakan: “kami di Pondok Pesantren
Hidayatullah merasa berbahagia umat Islam memiliki negara yang berdasarkan
Pancasila”.
Secara implisit
Al-Qur’an telah mensinyalir sifat ulama-ulama penjilat. Apabila umat Islam
menang, mereka mengatakan, “kemenangan ini karena jerih payah kami”. Apabila
umat Islam mengalami kekalahan mereka mengatakan sebab kekalahan dari
orang-orang yang terburu-buru dalam perang dan mereka tidak segan melakukan
kekufuran. (QS al-Hajj [22] ayat 11)
Ulama yang rusak
moralnya ialah ulama yang sering melakukan kemaksiatan akibat tidak kuasa
menahan hawa nafsunya. Ulama model ini biasanya latar belakang keilmuannya
hanya didapatkan karena kondisi atau permintaan orang tua, prinsip keilmuannya
hanya sebagai keilmuan belaka. Mereka tidak berupaya mengamaliahkan ilmunya,
sehingga mereka sangat mudah melakukan kedustaan, fitnah, korupsi, mengganggu
wanita, melacurkan diri, memakan yang haram. Sisi lain yang mengakibatkan
kerusakan moral ulama ialah pengaruh kedudukan duniawi dan takut meniti
kehidupan sengsara dalam menegakkan kalimatullah.
Menurut Tinjauan
Sejarah
Banyak sekali
perjalanan perjuangan umat Islam diwarnai oleh ulama-ulama su’, bahkan pada
zaman Nabi Muhammad sendiri pun tidak sedikit orang-orang yang tahu ilmu
melakukan tindakan kezaliman. Kita bisa melihat kasus perang Ahzab, perang
Tabuk, dimana tidak sedikit umat Islam yang meninggalkan diri dari kancah
perjuangan. Pada Perang Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar, pada Perang
Diponegoro, dan masih banyak sekali perjalanan perjuangan umat Islam yang
dikotori oleh ulama-ulama su’ yang tidak saya tulis disini, akan tetapi bisa
disampaikan pada ruangan ini.
Kesimpulan
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa ulama warisatul anbiya ialah ulama yang keilmuan,
akhlak individu, akhlak sosial dan prinsip kehidupan dan perjuangannya sama
seperti yang telah dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sebaliknya ulama
su’ ialah ulama yang ilmu dan akhlaknya serta prinsip kehidupan dan
perjuangannya kontradiksi dengan apa yang telah diteladankan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Evaluasi
Lingkungan
Dengan rumusan
tersebut diatas, insya Allah dapat menjadi landasan membuat penilaian terhadap
para ulama-ulama yang berada disekitar kita. Saya kira kurang bijaksana,
andaikata disini disebutkan siapa-siapa yang memiliki kelayakan untuk
ditempatkan sebagai ulama warisatul anbiya dan ulama su’. Tetapi saya harapkan
umat Islam memiliki kepekaan dan penetapan penilaian terhadap ulama yang ada
disekelilingi kita, sehingga dapat memberikan kepastian sikap.
Sikap Pemikiran
dan Sikap Perilaku terhadap Ulama Positif dan Ulama Negatif
Kita semua sudah
mengetahui ulama yang warisatul anbiya memiliki tugas yang berat. Beliau memerlukan
pengetahuan yang tinggi untuk menjawab segala problematika umat. Beliau juga
bertanggungjawab terhadap istri dan anak-anaknya. Disamping itu kita semua
sadar bahwa beliau adalah pelita masyarakat, tanpa beliau niscaya dunia etika
pada masyarakat akan menjadi gelap, sisi lain yang kadang-kadang terjadi beliau
harus berhadapan dengan para penguasa yang zalim. Akibatnya tidak jarang beliau
merasakan penderitaan di penjara atau di hukum gantung, sedangkan anak istrinya
juga ikut merasakan penderitaannya. Orang-orang ilmuwan yang tidak memiliki
kesadaran tinggi dan ketabahan yang luar biasa sulit untuk dapat menjadi ulama
pewaris para nabi. Keberanian, kesengsaraan, dan penderitaan seperti itulah
yang membawa ulama meninggalkan misinya, bahkan tidak segan-segan menjadi ulama
yang mengikuti kemauan musuh. Sedikit sekali ulama yang mengikuti jejak
rasul-rasul Allah. Oleh karena itu seharusnya masyarakat juga memahami keadaan
mereka dan bertanggung jawab terhadap eksistensi mereka, tanpa mereka
masyarakat juga ikut merasakan kerugian.
Secara penanganan
yang ideal tentunya diiringi dengan kemampuan masyarakat Islam yang ada.
Seharusnya ulama yang berbakat dan memiliki potensi menjadi pewaris misi rasul
tidak diperkenankan bekerja, seluruh kebutuhan mereka ditanggung oleh umat
Islam, dengan demikian beliau dapat berkonsentrasi terhadap ilmunya. Kualitas
keilmuan yang dimiliki oleh ulama sangat besar pengaruhnya untuk menciptakan
hasil kerja yang ideal. Bagaimanapun tingginya keberanian ulama menghadapi
tantangan dan penderitaan apabila tidak didukung pengetahuan yang memadai pasti
akan menghasilkan kehancuran.
Ulama yang
menggunakan waktunya untuk bekerja atau masih memikirkan keadaan anak istrinya,
maka kualitas keilmuan mereka tidak akan bisa maju. Apabila mereka menggunakan
waktu kerjanya 8 jam dalam sehari untuk kepentingan keluarganya, berarti selama
10 hari dalam sebulan (30 x 8 = 240 jam = 10 hari) mereka harus meninggalkan
ilmunya. Alangkah bermanfaat seandainya mereka bisa berkonsentrasi secara
penuh. Bagi orang yang terbiasa melihat keberhasilan-keberhasilan segala
profesi yang ada baik berkenaan dengan masalah ilmu pengetahuan, olah raga atau
kesenian, akan memiliki kesimpulan bahwa landasan keberhasilan suatu kerja
banyak ditentukan oleh banyaknya konsentrasi dan latihan.
Dalam situasi dan
kondisi dimana logika sudah sedemikian tingginya, masih juga saya jumpai
kekeliruan pandangan umat Islam terhadap ulama alam soal pemberian fasilitas.
Mereka sangat tidak setuju terhadap ulama yang tidak bekerja dan ulama yang
menerima uang jasa setelah memberi ceramah, misalnya. Mereka mendudukkan ulama
yang begitu adalah ulama yang menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang
sedikit. Pernah saya memberi penjelasan terhadap seorang ikhwan yang masih
berpandangan seperti itu dengan penjelasan diatas, alhamdulillah ia akhirnya
menyatakan penyesalannya, dan menjadi orang yang getol membantu ulama warisatul
anbiya yang tidak memiliki pekerjaan karena menyampaikan ayat-ayat Allah.
Kadang-kadang saya
juga tidak menyalahkan kekecewaan umat Islam terhadap ulamanya yang kurang bisa
menempatkan diri. Bantuan-bantuan umat Islam yang disampaikan kepadanya telah
membuatnya lupa kepada tugasnya, ia sudah meninggalkan kehidupan yang
sederhana, menuju kepada kehidupan yang berlebihan, sepertinya ia tidak
mempunyai kewajiban untuk memberi, akan tetapi ia sepertinya memiliki hak untuk
menerima, umat Islam berkewajiban untuk memberi kepadanya. Pernah saya menerima
bantuan material kepada seorang ulama yang cukup kaya, yang mana rumahnya mewah
dan memiliki mobil. Dorongan yang membuat saya meminta bantuan pada beliau
karena memiliki kekayaan dan beliau juga seorang ulama. Dua potensi tersebut
akan memberi jalan keluar terhadap kesulitan yang kami hadapi secara total.
Tanpa diduga beliau mengatakan: “saya ini seorang ulama, saya hanya bisa
memberikan pengetahuan. Semoga adik memahami”. Dengan rasa kecewa saya
pulang dengan tangan hampa. Di benak saya terpikir apakah ulama itu bebas dari
infak? Disini saya menyadari jauhnya umat Islam dengan ulamanya yang
kadang-kadang disebabkan oleh tindakan ulamanya yang tidak kuasa membendung
hawa nafsunya. Barangkali kondisi inilah yang menyebabkan Allah melarang para
utusannya untuk mengambil barang zakat. Keseimbangan nilai ideal antara ulama
dengan umatnya tidak bisa dilepaskan untuk menciptakan keharmonisan dan
kesuksesan kerja diantara mereka.
Sedangkan sikap
umat Islam terhadap ulama su’, secara tegas telah diajarkan oleh Allah dan
rasul-Nya, bahwa mereka harus dijauhi, khususnya pada ulama Islam yang masih awam.
Hikmah larangan tersebut ada dua macam, yakni: 1) umat Islam akan terhindar
dari ajaran-ajaran yang menyesatkan, dan 2) untuk membendung popularitas
mereka, dengan hilangnya popularitas mereka akan menjauhkan umat Islam dari
ajaran mereka. Sikap yang lebih efektif ialah memberikan kesadaran umat Islam
tentang adanya ulama su’ dan ulama warisatul anbiya’.
Cara-cara Penguasa
Kafir dalam Memainkan Peranan Ulama untuk Menunjang Kekafiran lewat Pendekatan
Sejarah
Sistem
pemerintahan feodal membagi sistem kekuatan masyarakat menjadi tiga landasan
yaitu: masyarakat buruh, masyarakat agama dan militer. Untuk melumpuhkan
masyarakat buruh harus diciptakan kelompok elit yang membawahi seluruh kegiatan
perburuhan pada susunan masyarakat yang ada, jadi untuk mempengaruhi kondisi
kaum buruh, mereka cukup mempengaruhi kelompok elitnya. Demikian juga cara
untuk mempengaruhi atau menundukkan masyarakat agama harus dibentuk kelompok
agamawan atau ulama yang dapat membantu kehendak pemerintah. Jadi untuk
mengatur masyarakat agama, pemerintah hanya tinggal memerintahkan ulama yang
sudah dijinakkan. Demikian pula terhadap militernya. Pada bagian ini saya tidak
membahas secara detil tentang masalah diatas, hanya sekedar memberi input saja
akan adanya sistem yang semacam itu. Oleh negara-negara berkembang sistem
feodal tersebut banyak digunakan.
TAMBAHAN
Pada bagian ini
akan dibahas beberapa hal untuk lebih memperjelas pembahasan yang telah
dipaparkan bagian-bagian sebelum ini. Seksi tambahan mencakup pembahasan:
Hakikat dan Cabang-cabang
Ilmu Pengetahuan
Hubungan dan
kegunaan ilmu pengetahuan bagi manusia
Menentukan kadar
potensial ilmu pengetahuan bagi pribadi
Cara mendalami
ilmu pengetahuan dengan tepat, dan
Tanggung jawab
ilmuwan terhadap ilmunya melewati pendekatan kemanusiaan
Hakekat dan
Cabang-cabang Ilmu Pengetahuan
Seperti yang telah
dijelaskan pada topik hakikat berpikir, ilmu pengetahuan adalah produk dari
suatu pemikiran terhadap realitas. Realitas itu terdiri dari manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan, alam bebatuan (bumi), alam jin dan Ketuhanan. Dari alam-alam
yang besar tersebut ternyata banyak sekali bagian-bagian yang lain. Misalnya
pada alam bumi, didalamnya ternyata ada barang-barang mineral yang banyak
sekali yang satu sama lain memiliki hubungan yang sangat kompleks. Dari
realitas tersebut kita dapat melihat banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan
yang ada dalam rangka memudahkan pemahaman. Banyaknya cabang-cabang tersebut
dapat dilihat pada pembagian ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh manusia.
Sebagai tambahan, tentunya masih banyak ilmu pengetahuan yang belum diketahui
oleh manusia.
Hubungan dan
Kegunaan Ilmu Pengetahuan bagi Manusia
Manusia tidak sama
dengan ilmu pengetahuan. Manusia bagi ilmu pengetahuan merupakan suatu subyek
yang sumbernya adalah nafs sedangkan ilmu pengetahuan sebagai obyek. Namun
demikian secara sosial, hubungan kemasyarakatan subyek yang terdapat pada
manusia tersebut merupakan obyek bagi yang lainnya. Ilmu pengetahuan secara
tepat akan melahirkan kebahagiaan bagi kehidupan umat manusia, sebaliknya
apabila digunakan secara tidak tepat akan mengakibatkan kehancuran umat
manusia. Ilmu pengetahuan ibarat sebuah senjata sakti yang apabila jatuh ke
tangan orang jahat akan melahirkan kehancuran umat, akan tetapi apabila jatuh
ke tangan orang yang saleh akan membawa kesejahteraan umat,. Demikian juga bagi
mereka yang tidak berilmu, akan mendapatkan akibat negatif. Orang yang tidak
memiliki pengetahuan mesin, pengetahuan etika, pengetahuan ketuhanan,
pengetahuan-pengetahuan yang ada, maka mereka akan menerima akibat dari
ketidak-tahuannya tersebut.
Menentukan Kadar
Potensial Ilmu Pengetahuan bagi Pribadi
Untuk menentukan
kadar potensial ilmu pengetahuan diperlukan adanya standar obyektif yang
berdasarkan pada sifat-sifat dasar kemanusiaan secara umum. Manusia adalah
makhluk yang mendambakan kebahagiaan dan berlari dari hal-hal yang membawa
kepada penderitaan. Jadi untuk mengatur kadar potensial ilmu pengetahuan, saya
bersandar sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut berguna untuk
kebahagiaan umat manusia, semakin tinggi nilai atau potensi ilmu pengetahuan
bagi kesejahteraan umat manusia, maka semakin tinggi pula kadar potensialnya.
Sadar akan
kebutuhan umat manusia yang tidak sama pada perjalanan waktu dan pada kondisi
biologis (perkembangan usia) maupun sosiologis maka kebutuhan manusia terhadap
sesuatu ilmu pengetahuan juga tidak sama. Grafiknya seharusnya turun naik,
sesuai dengan kondisi obyektif. Kalau kita secara tarik garis besar, pada
dasarnya ada dua kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan, yaitu yang
bernilai primer dan bernilai sekunder. Ilmu pengetahuan yang bernilai primer
ialah ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan penunjang kehidupan, pemberi
kebahagiaan secara maksimal dan apabila tidak dimiliki akan mengakibatkan
kematian dan penderitaan secara maksimal. Sedangkan ilmu pengetahuan yang tidak
berkaitan dengan kehidupan manusia dan tidak mempunyai arti yang besar pada
kebahagiaan manusia, merupakan ilmu pengetahuan yang bernilai sekunder, ilmu
yang sejenis ini apabila tidak dimiliki secara fatal dan berkepanjangan.
Menurut pandangan penulis ilmu-ilmu yang primer pada bidang dasar itu meliputi
ilmu Logika, Ketuhanan dan Etika. Sedangkan ilmu-ilmu primer pada bidang
pengembangan ialah Ilmu Sosial, Ilmu Politik, Teknologi Senjata dan Ekonomi.
Ilmu-ilmu yang lainnya saya tempatkan pada bidang sekunder. Dalam istilah
hadits, ilmu pengetahuan yang berisi din dan waro’it merupakan
kewajiban bagi manusia untuk memilikinya sedangkan yang lainnya merupakan
keutamaan.
Manusia merupakan
bagian dari masyarakat, apabila tidak mengetahui ilmu primer pada bidang dasar
akan dapat menghancurkan tatanan masyarakat secara makro dan kehancuran itu
harus berlangsung dari generasi ke generasi selanjutnya. Mereka terus saling
mewarisi kehancuran tersebut. Sedangkan mereka di akhirat akan termasuk
orang-orang yang menderita di neraka Jahannam sepanjang masa. Adapun
orang-orang yang tidak mengetahui ilmu-ilmu primer pada bidang pengembangan,
tidak akan mampu membangun konstruksi masyarakat yang baik dan hidupnya akan
terus terjajah oleh setan yang memiliki teknologi senjata yang canggih.
Machiavelli dalam bukunya Il Principe (Sang Penguasa), menyatakan bahwa
hanya nabi-nabi yang memiliki senjata saja yang menghancurkan kekuasaan orang
kafir, sedangkan nabi-nabi yang tidak memiliki senjata telah dihancurkan oleh
orang-orang kafir.
Cara Mendalami
Ilmu Pengetahuan dengan Tepat
Dari uraian
diatas, secara umum atau secara teoritis, dapat dikatakan bahwa ilmu
pengetahuan memiliki nilai primer dan nilai sekunder. Akan tetapi secara
praktis tidak semudah pelaksanaan seperti pada kondisi teoritis karena pada
dunia praktis terikat oleh kondisi lingkungan. Unruk melaksanakan pendalaman
ilmu pengetahuan secara tepat pada kondisi tertentu idealnya memahami dulu
kondisi obyektif padanya.
Pada abad modern
saat ini, dimana sarana kehidupan sudah menggunakan ilmu pengetahuan dan
peralatan yang modern, seluruh penghuni abad ini berpacu untuk memenuhi
tuntutan zamannya, mereka yang ketinggalan akan terkucil dan tidak akan mampu
berkomunikasi terhadap lingkungannya. Bagi generasi pelajar Islam saat ini
harus bekerja keras, karena di samping mempelajari ilmu-ilmu pengembangan
teknologi yang bersifat primer, sebagai orang muslim juga diwajibkan untuk
mendalami ilmu-ilmu dasar yang bernilai primer yang terdiri dari Ilmu Ketuhanan
baik dari Islam maupun yang bersifat umum.
Dari tinjauan
politis, tidak jarang dijumpai lahan-lahan pekerjaan yang merupakan saluran dan
pengembangan bagi pendidikan, dijadikan ajang atau kesempatan politik. Hal ini
mengakibatkan banyak sekali umat Islam yang masih teguh pada agamanya rela
untuk meninggalkan pekerjaannya demi memelihara imannya. Dari tinjauan
realitas, pendidikan pun tidak lepas dari jangkauan-jangkauan politik, maka
bagi masyarakat yang tidak sesuai dengan politik penguasa akan terkucil dari
dunia pendidikan, ekonomi dan politik secara formal. Faktor-faktor inilah yang
kadang-kadang tidak disadari oleh mata Islam, akibatnya terjadi pergeseran
nilai potensial dari suatu keilmuan yang ada perkembangannya terjadi kebalikan
secara drastis. Keilmuan yang bersifat primer akan menjadi sekunder dan
sebaliknya yang sebenarnya sekunder akan menjadi primer.
Dari sisi
kemanusiaannya manusia, manusia adalah makhluk yang terbatas. Secara ideal
manusia tidak akan mampu mengatasi segala problematika dengan dasar ilmu
pengetahuan yang profesional secara sendiri. Sedangkan secara agamis manusia
adalah makhluk yang membawa misi Ketuhanan yang tidak bisa ditinggalkan.
Melihat
kondisi-kondisi obyektif diatas, maka menurut pendapat penulis, cara mendalami
ilmu pengetahuan yang tepat pada kondisi masyarakat sekarang ialah wajib
memahami ilmu-ilmu primer pada bidang dasar. Pemahaman ini merupakan keharusan
yang tidak bisa ditinggalkan, karena dampaknya bagi yang tidak mengetahui
sangat besar, khususnya yang berakibat keakhiratan atau Jahannam. Kadar
potensial waktunya yang diberikan, pemusatan perhatiannya dalam kondisi
tertentu tidak dapat dikalahkan oleh kepentingan ilmu pengetahuan lainnya,
khususnya yang dapat mengakibatkan terlepasnya ilmu pengetahuan dasar yang
bersifat primer, kecuali hanya sekedar penundaan saja atau pembagian waktu
dengan kegiatan-kegiatan lainnya.
Untuk penguasaan
terhadap ilmu tersebut, kita harus memiliki kecintaan dan militansi yang
tinggi. Secara semboyan dapat ditempatkan sebagai syarat kehidupan, bahkan
lebih tinggi dari hidup itu sendiri, sebab hidup dan kehidupan yang sesat
akibat penderitaannya yang dirasakan sangat luar biasa. Orang seperti itu akan
mengatakan lebih enak dulunya tidak ada atau menjadi tanah. Oleh karena itu,
tempat, waktu, jarak dan biaya tidak dapat menghalangi seseorang untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan bidang dasar. Sebenarnya sejarah telah mengajarkan
kepada kita bagaimana orang-orang terdahulu telah berkorban demi mendapatkan
ilmu Ketuhanan.
Selanjutnya dapat
beralih kepada ilmu-ilmu yang selainnya, khususnya ialah ilmu-ilmu pengetahuan
yang dapat menunjang penerapan dan penunjang ilmu pengetahuan dasar, yang mana
pada paragraf diatas telah disebutkan bahwa pengetahuan itu meliputi, bidang
sosial politik, teknologi senjata dan ekonomi serta metodologi pendidikan.
Mengingat kondisi kekuasaan negara Republik Indonesia tidak berdasarkan Islam,
tidak jarang dijumpai kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
politik, pendidikan dan ekonomi bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini
mengakibatkan penerapan-penerapan pada bidang-bidang keilmuan diatas tidak
dapat dilaksanakan oleh umat Islam. Oleh karena itu sebaiknya pemahaman
keilmuan pada bidang pengembangan dasar yang hubungan pengembangan atau
penerapannya hanya memiliki satu alternatif yaitu pada birokrasi yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Atau setidak-tidaknya umat Islam mempunyai
pandangan kemandirian didalam bidang pendidikan dan ekonomi, sehingga ilmu yang
dipelajari bukan untuk dijual kepada orang lain atau istilah umumnya
mempelajari ilmu untuk menjadi pegawai, melainkan mempelajari keilmuan untuk
diamalkan secara mandiri.
Tanggung Jawab
Ilmuwan terhadap Ilmunya Melewati Pendekatan Kemanusiaan
Suatu ilmu yang
bermanfaat untuk manusia ialah ilmu pengetahuan yang sudah dilaksanakan atau
diamaliahkan, tidak ada artinya ilmu tanpa penerapan. Didalam agama Islam
pertanggungjawaban ilmuwan terhadap ilmunya sangat ditekankan, bahkan menjadi kewajiban
yang tidak boleh ditinggalkan, karena umat manusia akan mengalami kegelapan
tanpa adanya sinar ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sangat tidak manusiawi,
bila seorang ilmuwan membiarkan umat manusia yang dahaga ilmu pengetahuan itu
menderita oleh panasnya kebodohan. Orang yang tidak mengamaliahkan ilmunya
padahal mereka berilmu akan mendapatkan kemurkaan Allah. Pada surat Al-Jum’ah
ayat 5 (QS 62:5) dikatakan sebagai keledai yang memikul kitab. Dalam surat
Al-Maa’uun ayat 1-7 (107:1-7) dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama
karena orang yang tahu ilmu pengetahuan agama, yang didalamnya ajarannya
memerintahkan berbuat kebajikan sedangkan mereka melalaikan kebaikan tersebut.
Pada surat Al-An’aam ayat 70, dikatakan sebagai orang yang bermain-main dan
bersenda gurau dalam urusan agama. Pada surat al-Shaaf ayat 1-2, dikisahkan
Allah sangat murka terhadap orang yang hanya pandai berbicara tetapi tidak
melaksanakan apa yang dibicarakannya. Oleh karena itu bagi orang Islam yang
sungguh-sungguh dalam agamanya, pasti dengan sekuat daya upayanya untuk
mengamailahkan apa yang diperintah oleh Tuhannya sekalipun harus mengorbankan
apa yang paling dicintai.
Sumber : A L - K A H F I\Produk Pemikiran AKF\materi sm1\2-Berfikir
Sumber : A L - K A H F I\Produk Pemikiran AKF\materi sm1\2-Berfikir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar